Rekomendasi

ads header

Baru

Al-Qur'an, Tentang Metoda Penyusunan Ayat-Ayat Dalam Surah


[Tanya - Jawab] Susunan Al-Qur'an yang Unik 
Mengapa urutan ayat-ayat Alqur`an tidak dituliskan berdasarkan waktu diturunkannya kepada Rasulullah Muhammad saw? Seperti misalnya, mengapa bukan surah Al-Alaq sebagai surah pertama? Lantas, bagaimana proses pengelompokan ayat-ayat Alqur`an dilakukan meliputi penamaan surah-surah, sumber rujukannya, urut-urutannya; penentuan juz-juz dan tanda waqafnya? Bagaimana penentuan suatu ayat dimansukh oleh ayat lainnya? 
TANYA 
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Saya mempunyai beberapa masalah/pertanyaan yang masih bingung mencari jawabannya, yaitu:
  1. Mengapa urutan ayat-ayat Alqur`an tidak dituliskan berdasarkan waktu turunnya kepada Rasulullah Muhammad saw? Mengapa bukan surah Al-Alaq sebagai surah pertama? 
  2. Lantas, bagaimana proses pengelompokan ayat-ayat Alqur`an dilakukan meliputi penamaan surah-surah, dari mana sumbernya dan bagaimana pengurutannya; penentuan juz-juznya, dan tanda waqafnya? 
  3. Bagaimana penentuan suatu ayat dimansukh oleh ayat lainnya? 
Terima kasih atas bantuannya. 
Wassalaamu`alaikum Wr.Wb. 
Helmy F. 

JAWAB 
Assalamualaikum war. wab Sdr. Helmy yang dimuliakan Allah, 
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, jawaban kami adalah sebagai berikut: 

A. TAHAPAN TURUNNYA AYAT
Al-Qur'an diturunkan ke dunia melalui dua tahap; tahap pertama diturunkan sekaligus dari "Lauhil Mahfudz" ke "Baitul Izzah" di langit dunia sebagaimana susunan yang telah ditetapkan oleh Allah. Tahap kedua, diturunkan dari langit dunia kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur sesuai dengan sebab kejadiannya. [Manahilul Irfan, Lizzurqani, Jilid:1, hal. 44-47]. Tetapi susunan ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang ada sekarang, memang bukan menurut sejarah turunnya, melainkan atas dasar perintah Allah, sama dengan susunan Al-Qur'an yang di berada di "Lauhil Mahfudz". Imam Ahmad, meriwayatkan bahwa setiap kali turun ayat, Rasulullah s.a.w. memerintahkan para penulis wahyu, seraya bersabda "Letakkan ayat ini setelah ayat ini di surat ini " [Musnad Imam Ahmad: Jilid-1, hal. 57]. 

Banyak riwayat yang menegaskan bahwa Rasulullah mengimami shalat, dengan membaca Al-Qur'an sebagaimana susunan ayat yang ada. Atas dasar ini ijma' ulama menegaskan bahwa susunan ayat-ayat Al-Qur'an murni dari Allah tanpa campur tangan siapapun. [Manahilul Irfan, Lizzurqani, Jilid-1, hal. 247]. Begitu juga susunan surah-surah dalam Al-Qur'an, sekalipun ada perbedaan pendapat ulama, tetapi pendapat yang paling kuat adalah bahwa susunan surah-surah itu berdasarkan wahyu dari Allah SWT, bukan ijtihad para sahabat. 

Pendapat ini didukung oleh banyak riwayat shahih seperti misalnya, keterangan bahwa Rasulullah sering membaca dalam shalatnya beberapa surah secara berurutan seperti susunan yang ada. Rasulullah, sebagaimana riwayat Imam Bukhari, setiap tahun dua kali menyerahkan hafalan Al-Qur'an -- dari awal sampai akhir -- kepada Malaikat Jibril. Penyerahan ini tentu secara berurutan sesuai dengan susunan yang ada. Ini juga diperkuat oleh ijma' para sahabat dan kesepakatan jumhurul ulama (mayoritas ulama) terhadap susunan Al-Qur'an. Dengan kata lain, Al-Qur'an yang ada sekarang adalah merupakan bukti yang menguatkan bahwa susunan surah-surahnya berdasarkan wahyu [Fadhailul Qur'an, Ibnu Katsir, 86]. 

B. PENGELOMPOKAN AYAT
Mengenai pengelompokan ayat dalam setiap surat, sesuai dengan riwayat Imam Ahmad di atas, tentu juga berdasakan wahyu. Bagitu juga nama-nama surah, semuanya sesuai dengan petunjuk wahyu. Demikian pula waqaf per-ayat, tidak bisa diketahui kecuali melalui wahyu. [Manahilul Irfan K Lizzurqani, jilid-1, hal. 340]. 

Adapun penentuan juz-juz Al-Qur'an yang tiga puluh jumlahnya, itu bukan dari Khalifah Utsman -- sebab mushhaf utsmani (Al-Qur'an yang ditulis di zaman Khalifah Utsman) tidak ditemui juz-juz tersebut -- melainkan dari para ulama dengan maksud untuk mempermudah membacanya (baca: mengkajinya). 

Sekalipun dalam hal ini para ulama berbeda pendapat antara boleh dan tidak, namun kemudian dianggap boleh-boleh saja, selama tidak merusak susunan Al-Qur'an yang asli. [Manahilul Irfan, Lizzurqani, Jilid-1, hal. 409-410]. 

C. AYAT-AYAT YANG DI-NASIKH-MANSUKH
Adapun penentuan suatu ayat dimansukh oleh ayat lainnya, itu tidak melalui ijtihad, melainkan melalui tiga hal berikut: 
  1. Penegasan dari Nabi SAW atau sahabat r.a. seperti hadits: "Aku dulu pernah melarangmu melakukan ziarah ke kuburan, maka sejak ini silahkan lakukan ziarah kubur tersebut." 
  2. Kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan yang satunya mansukh. 
  3. Mengetahui sejarah turunnya, maka yang diturunkan lebih dahulu itulah yang mansukh. [Mabahits Fi Ulumil Qur'an, Iimanna' Al-Qattan, hal. 234]. 
Semoga membantu.
Wassalam, Dr. Amir Faishol Fath. Ustadz PV Bidang Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qur'an

[Dari Dewan Asatidz | Pesanten Virtual


TANYA
Sebagaimana kita ketahui bahwa surah Al-Fatihah menjadi surah pertama dalam Al-Quran. Namun, disebutkan bahwa surah yang Allah SWT pertama turunkan kepada Nabi SAW adalah surah Al-‘Alaq. Mohon penjelasan Bapak Quraish ihwal proses turunnya serta penyusunan surah-surah dalam Al-Quran. Terima kasih.

Shihabuddin, Gresik, Jawa Timur.

JAWAB
Lima ayat pertama surah Al-‘Alaq adalah wahyu pertama turun. Selanjutnya beberapa ayat dari surah Al-Muddatstsir, demikian seterusnya. Namun, penyusunan perurutan surah-surah Al-Quran tidak sesuai dengan urutan turunnya. Menurut pendapat mayoritas ulama, perurutan surah-surah Al-Quran seperti penempatan Al-Fatihah, Al-Baqarah, dan seterusnya, adalah atas petunjuk Allah yang disampaikan oleh Malaikat Jibril.

Ada juga pendapat lain bahwa perurutan tersebut pada umumnya berdasar petunjuk Nabi, kecuali surah Bara’ah atau At Taubah (QS. 9) yang tidak memakai Basmalah pada awal surah. Bahkan ada yang berpendapat bahwa perurutan surah-surah tersebut adalah hasil pemikiran atau ijtihad 'tim penulis' mushaf pada masa Khalifah Usman RA. Namun kedua pendapat terakhir memiliki kelemahan-kelemahan.

Mengenai susunan ayat-ayat Al-Quran seperti yang ada sekarang, menurut para ulama susunannya berdasar petunjuk dari Allah SWT yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi SAW, yakni setiap kali malaikat datang membawa wahyu, dia sekaligus menyampaikan bahwa ayat yang dibacakan adalah lanjutan ayat ini atau ayat itu. Atau dia menyampaikan bahwa ayat yang dibawanya adalah awal dari satu surah (kumpulan ayat-ayat) akan turun. Itu sebabnya hubungan antar-ayat dan surah-surah Al-Quran sangat serasi. Bukankah Allah sendiri yang menyusunnya? Perurutan tersebut sangat serasi, tidak seperti yang diduga sebagian orang yang tidak sungguh-sungguh mendalaminya. Jika Anda ingin mengetahui sekilas tentang hal ini, silakan membaca buku Mukjizat Al-Quran yang telah saya [Quraish Shihab] tulis.

Sepengetahuan saya Malaikat Jibril tidak menjelaskan bahwa ini adalah awal dan akhir ayat. Dia hanya membaca dan Nabi pun cuma mendengar kemudian membacakan tanpa menjelaskan awal dan akhirnya satu ayat. Namun demikian, sebagian besar dapat diketahui awal dan akhrnya dengan memperhatikan redaksi ayat-ayat, atau setelah mengetahui tempat-tempat di mana Nabi SAW memulai dan berhenti membacakannya.

Karena tidak adanya keterangan pasti dari Nabi tentang tempat-tempat memulai dan berhenti itu, maka meski disepakati tentang kata dan kalimat Al-Quran sehingga tidak ada perbedaan menyangkut teksnya, namun jumlah ayat-ayatnya diperselisihkan. Atau boleh jadi bukan jumlah ayatnya yang diperselisihkan, akan tapi menentukan awal dan atau akhirnya ayat-ayat tsb.

Misalnya saja ayat surah Al-Fatihah. Tidak ada perbedaan tentang jumlah ayat-ayatnya yakni tujuh ayat, tetapi ulama berbeda pendapat tentang yang mana ayat pertama dan dari mana bermula ayat ketujuh. Ada yang berkata Basmalah adalah yang pertama, ada juga yang berkata “Alhamdulillah rabbil ‘alamin.”

Huruf-huruf yang terdapat pada awal surah, ada yang menilainya satu ayat berdiri sendiri, seperti ‘yaa siin’ dan ada juga yang menilai bahwa ‘wal quranil hakim’ yang merupakan lanjutan dari ‘yaa siin’ adalah bagian dari ayat pertama.

[Sumber: Quraish Shihab Menjawab, Dialog Jumat, Republika, Jumat, 7 November 2003 - 12 Ramadhan 1424 H] 

TANYA
Assalamualaikum warahmatullah wabaraktuh,
Ada suatu pertanyaan yang mengganjal dalam hati tentang kitab suci Al-Quran, saya mohon pak Ustadz bisa memberikan pencerahan:
  1. Sejak kapan ayat-ayat al-Quran dibukukan? 
  2. Metoda apakah yang dipakai dalam penyusunan ayat-ayat al-Quran sehingga memiliki urutan seperti yang kita ketahui sekarang? 
  3. Tafsir manakah yang bisa kita jadikan pegangan sesuai dengan makna al-Quran yang sebenarnya? 
Ulasan yang logis dan memiliki dalil yang sahih dari pak Ustadz sangat saya harapkan karena saat ini saya sedang menghadapi orang yang mencoba menggoyahkan keyakinan saya tentang keotentikan al-Quran yang sekarang kita pegang. Terima kasih sebelumnya.

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

JAWAB
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Jika buku yang anda maksud adalah cetakan modern seperti di masa sekarang, tentunya Al-Quran belum lama dicetak. Sebab mesin cetak modern baru ditemukan beberapa puluh tahun belakangan ini saja. Tapi jika yang dimaksud adalah 'buku' dalam arti lembaran-lembaran yang terbuat dari kulit, pelepah kurma, atau media lain yang sudah dikenal pada masa itu, maka sebenarnya Al-Quran telah ditulis sejak pertama kali turun sekitar 1.400 tahun lalu.

Metoda Penulisan Dan Pengumpulan
Rasulullah SAW mempunyai beberapa 'sekretaris pribadi' yang kerjanya melulu hanya menulis Al-Quran. Mereka adalah para penulis wahyu dari kalangan sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, ‘Ubai bin K’ab dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum. Bila suatu ayat turun, beliau memerintahkan mereka untuk menuliskannya seraya menunjukkan di mana tempat ayat tersebut dalam surah.

Di samping itu sebagian sahabat pun menuliskan Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh nabi. Mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Seperti kata Zaid bin Tabit, "Kami menyusun Qur’an di hadapan Rasulullah pada kulit binatang."

Para sahabat senantiasa menyodorkan Al-Qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan (untuk verifikasi).

Tulisan-tulisan Al-Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, artinya tulisan yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas’ud telah menghafalkan seluruh isi Qur’an di masa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Al-Qur’an di hadapan Nabi, di antara mereka yang disebutkan di atas.

Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah di saat Al-Qur’an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan di atas. Ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf.

Tetapi Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap). Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para qurra’ dan ditulis para penulis; tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. 

Di samping itu terkadang pula terdapat ayat yang me-nasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Qur’an itu tidak menurut tertib nuzul-nya (sebab turun), tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi. Belaiu yang menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu.

Andaikata pada masa Nabi SAW Al-Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan di antara dua sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian itu tentu akan membawa perubahan bila wahyu-wahyu berikutnya turun kemudian.

Az-Zarkasyi berkata, "Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur’an turun semua, yaitu setelah wafatnya Rasulullah."

Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit yang mengatakan, "Rasulullah SAW telah wafat sedang Qur’an belum dikumpulkan sama sekali." Maksudnya, ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf.

Al-Katabi berkata, "Rasulullah tidak mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya. Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar radhiyalahu ‘anhum.

Metoda Penyusunan
Metode yang digunakan untuk menyusun Al-Quran adalah metode wahyu dari langit. Sebab setiap ada ayat yang turun, Rasulullah SAW selain mengajarkan bacaan dan pemahamannya, beliau juga menjelaskan tata letak ayat tersebut di dalam Al-Quran.

Tafsir Al-Qur'an
Semua kitab tafsir yang hingga hari masih ada, bisa dijadikan dasar penafsiran tehadap Al-Quran. Kita punya puluhan kitab tafsir peninggalan para ulama yang sudah teruji kebenaran sepanjang masa. Tentunya masing-masing kitab tafsir itu memiliki keunggulannya sendiri–sendiri. Tergantung dari sudut pandang mana seseorang ingin membidik pemahamannya terhadap A-Quran.

Wallahu a’lam bishshawab. 
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Ahmad Sarwat, Lc.

[Sumber: eramuslim.com


Tidak ada komentar