Mengenal Umat Al-Masih Timur
Sangat menarik untuk disimak, berikut adalah tulisan bang Rido Simangunsong di halaman pribadinya di KOMPASIANA. Beliau asli anak Batak yang lahir dan besar di Sumatera Utara dan, seperti umumnya anak Sumatera Utara, kemudian merantau meninggalkan kampung halaman hingga akhirnya memutuskan untuk menetap dan jadi semakin "eksentrik" di kota kembang Bandung. Dia bilang, sesekali dia suka menulis, dan salahsatu tulisannya adalah Mengenal Al-Masih Timur seperti berikut ini:
“Kamu kan Kristen, kenapa shalat?”, seorang aktifis gereja Protestan bertanya dengan nada menuduh. Saya hanya tersenyum, sembari menimbang-nimbang mau memberi penjelasan yang merentang cakrawala, atau menjawab sekenanya. Soalnya saya tak berpangkat apapun dalam jagad aktifis keagamaan Protestan, tidak punya gelar Pemimpin doa tidur (Pdt), Pemimpin doa makan (Pdm), atau Pemimpin nyanyian tidur (Pnt). Tidak juga gelar kesarjanaan seperti Sarjana tukang hayal (STh). Hal itu hampir berarti saya tak akan didengar. Saya pun tidak terlalu dekat dengan aktifis gerejawi ini, padahal kalau mau didengar oleh mereka, katanya harus kenal dekat dulu. Semua yang asing dan menyalahi kelazimannya pasti dianggap aneh, syukur-syukur bukan sesat.
Sayangnya saya harus sadar bahwa saudara terkasih itu butuh penjelasan. Demikian pula rekan-rekannya yang lain, yang kemungkinan sama ber-mentalitas “harus rohani atau harus dekat baru didengar,” juga butuh penjelasan. Penjelasan yang insya Allah akan mencerahkan dan lebih menambah khasanah soal betapa kayanya ekspresi iman para pengikut Al-Masih, juga soal jalan indah untuk memahami dan menjembatani dialog dengan umat Nabi Muhammad.
Ya, pemahaman dan praktik ibadah umat Al-Masih Timur memang kurang dikenal di negeri ini. Bagi kebanyakan orang Indonesia, para pengikut Al-Masih hampir selalu diidentikkan dengan dua mahzab besar, Katolik Roma dan Protestan. Tradisi dan ekspresi iman yang dikenal pun seolah hanya dari Eropa Barat dan Amerika Utara saja. Pengstilahan dan ajaran pun seolah hanya bersumber dari kedua tempat itu. Maka terkadang saat mereka diperhadapkan pada ritus krisitiani yang lebih asali seperti dalam iman umat Al-Masih Timur, mereka serasa bertemu “agama lain”.
Padahal tradisi gereja Barat (apalagi pada denominasi Protestan yang baru seperti Kharismatik dan Pentakosta) sebenarnya berasal dari usia yang jauh lebih muda. Beberapa ajarannya pun pada hakikatnya merupakan respon iman para perintisnya terhadap peristiwa-peristiwa di tempat tertentu. Misalnya saja reformasi kaum Lutheran yang erat kaitannya dengan kewenangan Paus dan pergolakan politik di Eropa, atau Pembaruan Calvinis yang ajarannya menjadi fondasi pembaruan Kota Jenewa. Tradisi Katolik Roma pun baru mulai menunjukkan coraknya sendiri selepas era St.Thomas Aquinas (1274) meski fondasinya telah dibangun oleh Paus Gregorius I (604), tiga “Doktor Latin”, St. Agustinus (430), St. Hieromius (420) dan St. Ambrosius(397), serta “Bapa Gereja Latin”, St. Tertulianus (230). Perkembangan tradisi ini ditandai dengan melimpahnya literatur dan ritual liturgi berbahasa Latin. Lantas seperti apa tradisi umat Al-Masih Timur itu?
Maka saya membiarkan si aktifis gerejawi itu penasaran sejenak.
Bapak itu sedang mengorat-oret buku persiapan khutbahnya. Nampaknya dia salah satu dari sedikit ulama kristiani yang masih mau belajar sebelum memberi ceramah. Nah… bapak itu sekarang sedang berpatah-patah mengucapkan Bahasa Latin… “Verre deo, verre homo,” ucapnya dengan logat Jawa campur Hokkien. Ah… pasti dia orang Protestan dari denominasi Reform Injili atau aliran Calvinis lainnya. Soalnya dia demen berbahasa aneh, yang sering diangguk-sukai oleh jemaatnya yang justru gak ngerti bahasa aneh. Berbeda dengan orang Karismatik atau Pentakosta, disini tak hanya ulama, seluruh orang juga demen berbahasa aneh. Ups!
“Pak… lagi mau ceramah tentang apa sih? Kok melulu pakai Bahasa Latin?”
“Oh… ini soal keesaan Tuhan. Aku mencoba melacak sampai ke akar-akar permasalahan doktrin ini. Sampai ke jaman Tertulianus. Kau bayangkanlah betapa bagusnya nanti ceramah ini. Biar nanti jemaat bisa mengerti apa yang dipercayainya”
Ah… bapak ini tampak sangat bergairah, walau memang impian ini akan jauh dari kenyataan. Yang ada umatnya akan pulang dengan lebih mengingat dan merindukan cemilan serta sapaan teman gosipnya ketimbang isi ceramah si Bapak.
Tapi bukan hal itu yang paling ingin disorot. Yang unik adalah pendapat si Bapak seolah menegaskan bahwa iman umat Al-Masih yang sejati lebih banyak diajarkan dalam Bahasa Latin. Seolah asal-muasal semua dogma utama hanya berasal dari gereja Barat. Padahal kalau dia mau mempelajari teologia Timur, penjelasannya mungkin akan lebih lengkap. Tidak hanya untuk umat binaannya, tapi juga saat ia menjelaskan pada umat Nabi Muhammad misalnya. Apalagi dasar-dasar penjelasan untuk masalah keesaan Allah, justru bermula dari umat Al-Masih Timur.
“Timur? Timur mana yang kamu maksud? Kita kan orang Timur?”
“Yang jelas bukan umat Al-Masih yang dibina Pak Timur Pradopo, apalagi yang (dibiarkan) dibinasakan olehnya, hehe…”
Ups lagi…
1. APA YANG DIMAKSUD DENGAN TIMUR?
Sebenarnya istilah umat Al-Masih (teologi) Timur bermula untuk menyebut umat yang ada di wilayah timur kekaisaran Romawi, baik yang merupakan kekaisaran Romawi Timur (Yunani, Asia Kecil, Afrika Utara, Syiria dan Palestina), maupun wilayah yang lebih timur lagi, yang bukan wilayah kekaisaran Romawi (Eddesa, Semenanjung Arabia, Persia dan India). Jadi umat Al-Masih Timur waktu itu berarti umat Al-Masih yang tinggal di sebelah timur kekaisaran Romawi. Injil memang lebih dahulu sampai di wilayah ini, mengingat upaya dakwah para hawariyyun (keduabelas murid Al-Masih) awalnya banyak dikerjakan di wilayah ini.
Namun saat ini umat Al-Masih Timur diartikan sebagai umat Al-Masih yang mengikuti ajaran dan tradisi jemaat Timur tersebut. Saat ini Teologia Timur setidaknya terbagi atas empat mahzab besar, ada pula beberapa segmentasi yang kecil. Adapun keempat mahzab besar tersebut Gereja Orthodoks Timur, Gereja Orthodoks Oriental, Kanisah Assyiria Timur, dan Gereja Katolik Timur.
Sebutan Timur ini juga menjadi penting sebagai pembeda dengan tradisi dan ajaran umat Al-Masih Barat. Memang keduanya berhulu pada sumber yang sama, yaitu ajaran Al-Masih yang diteruskan oleh murid-muridnya. Namun penghayatan, penekanan dan penerapannya tentu memilik perberbedaan. Tradisi dan ritual Timur selain lebih awal, juga lebih beragam, tidak hanya bersentuhan dengan budaya Latin-Romawi, seperti pada umat Al-Masih Barat.
Jadi meskipun, umat Al-Masih banyak terdapat di Indonesia, Cina, Philipina, Jepang dan Korea, yang notabene adalah belahan dunia Timur, kebanyakan mereka tetaplah umat Al-Masih Barat, sebab teologi yang dianut berasal dari Gereja Barat.
Literatur dan ritual ibadah umat Al-Masih Timur itu lebih beragam. Bahasa yang digunakan juga. Bahasa Aram, Yunani, Koptik, Latin dan Armenia adalah bahasa tertua yang dipakai dalam ritual ibadah dan literatur. Belakangan setelah menyebar, umat Al-Masih Timur juga banyak memakai Bahasa Arab (yang merupakan perkembangan Bahasa Aram dialek Timur), Etiopia, Slavonik, dan Malangkaran. Saat Gereja Barat selama ribuan tahun hanya memakai Kita Suci dan Liturgi berbahasa Latin, umat Al-Masih Timur justru berperan besar dalam menerjemahkan Injil ke banyak bahasa. Bahkan untuk Bahasa Arab dan Bahasa-bahasa Eropa Timur, umat ini berperan besar dalam mengembangkan bahasa dan aksaranya.
Si Bapak tadi tertegun sejenak. Belum pernah didengarnya sejarah jemaat Al-Masih versi yang lebih luas ini. Padahal dia kan seorang ulama. Sejarah milik orang kuat? Ya, tapi sejarah juga dirampok dari orang yang tak ingin keluar dari kenyamanan kelazimannya.
Carissa Putri dulu pernah bilang bahwa sebelum memerankan tokoh Maria Girgis dalam film Mayat-mayat, eh, Ayat-ayat Cinta (2008), ia sudah riset sangat mendalam tentang umat Al-Masih dari mahzab Koptik, yang menjadi keyakinan semula si Maria. Kenyataannya si manis Carissa, sama seperti penulis novel dan sutradara film tersebut, tetap terperangkap pada ketaktahuan yang sama. Tatto salibnya yang terbalik dan terlalu besar, cara berdoa Ny.Girgis yang melipat tangan, keheranan Maria atas tilawat Qur’an dan permintaannya agar diajari shalat, adalah bukti ketaktahuan kru film ini tentang bagaimana sebenarnya ritual ibadah Koptik. Mereka malah menyamakannya dengan Kristen Barat (Katolik Roma).
Kalau mereka faham soal keyakinan yang dianut mantan sekjen PBB Bouthros Boutros Ghali itu, tentu tatto salibnya akan lebih proporsional. Ny.Girgis akan berdoa dengan menengadahkan tangan dan memakai kerudung. Maria tentu tak perlu terheran-heran soal alunan tilawat Quran, sebab Injil juga dibaca dengan cara demikian. Lebih lagi, permintaan Maria di akhir film harusnya, “Ajari aku shalat secara Islam”, bukan sekedar “Ajari aku shalat”, sebab umat Koptik pun melakukan ritual shalat yang bentuknya hampir mirip, namun memang tidak sama dengan agama Islam.
Tidak hanya soal film yang promosi poligami itu, pencampur-kaburan juga sering terjadi kalau orang mulai berbicara soal umat Al-Masih Timur. Sampai saat ini banyak yang mengira Khalil Gibran adalah seorang umat Nabi Muhammad, semata-mata karena ia menulis puisi dalam Bahasa Arab. Padahal sampai akhir hayatnya Gibran tetap menjadi anggota jemaat Maronit. (Nah apa pula ini? Cukup disayangkan kalau sedikit yang mengenal Abuna (Romo) Elias Chacour, salah seorang pejuang spritual untuk perdamaian Palestina. Padahal ia adalah tokoh yang selalu memberi dukungan penuh pada alm. Yasser Arafat. Dia seorang umat Al-Masih tentu saja, namun bukan Katolik Roma, tapi Katolik Melkit (apa lagi ini?). Bicara soal orang Palestina yang mengaku diri pengikut Al-Masih, tentu orang ingat Juirjuis (George)”al-Hakim” Habash, orang kepercayaan Arafat, salah satu tokoh garis keras di PLO. Apa keyakinan formalnya? Dia anggota jemaat Orthodoks Timur di Palestina. (Nah lo?). Mau yang lebih konyol lagi? Di Tampa, A.S, seorang biarawan Orthodoks dikira teroris dan dipukuli oleh seorang Polisi pada Nopember 2009. Anda bisa tebak kenapa polisi itu langsung mengira sang biarawan teroris? Sebab calon imam itu berjanggut dan berjubah panjang, hm… betapa naifnya ketaktahuan yang dilandas curiga.
2. KUSUT CAMPUR KABUR SOAL UMAT AL-MASIH TIMUR
Sudah melihat kekusutan campur-kaburnya kan? Pertama ada yang menyamakan umat Al-Masih di Timur ini dengan umat Nabi Muhammad. Ini terjadi mungkin karena atribut luarannya (gedung dengan atap berbentuk kubah, baju panjang, janggut para imam, kerudung untuk perempuan, cara menilawatkan kitab suci, dan bahasa yang digunakan) hampir mirip. Padahal keberadaan umat Al-Masih di Timur sudah ada jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Jadi kemiripan tadi bukanlah bentuk meniru-niru Islam. Ada pula yang menyamakannya dengan umat Al-Masih dari Barat. Padahal ada perbedaan penghayatan atas beberapa doktrin dengan dunia kekristenan Barat. Saat ini, umat Al-Masih Barat (khususnya Katolik Roma, Anglikan dan Evangelikal) ada juga yang berdiam di wilayah Timur, namun keberadaannya tentu tak mengakar seperti keyakinan Al-masiyah Timur, yang mengutip seorang Syekh Al-Azhar, bukanlah suatu minoritas asing, melainkan suatu originalitas di wilayah Timur. Jadi harus dibedakan memang, apalagi bentuk ekspresi ibadahnya memang jelas-jelas berbeda.
Nah, yang sudah bisa melihat perbedaan itu pun (antara umat Al-Masih Timur dengan umat Nabi Muhammad dan umat Al-Masih Barat yang tinggal di Timur), masih belum bisa membedakan ragam-ragam yang terdapat di dalam umat Al-Masih Timur. Asal tahu saja beberapa mahzab dalam umat Al-Masih Timur sebenarnya pernah bertentangan dengan cukup keras. Konfliknya pun sering menjalar ke bidang politik. Penulis The Black Swan, Nassim Nicholas Thaleb, pernah menguraikan, untuk waktu yang lama, pertikaian besar di wilayah Syria dan Libanon justru lebih banyak terjadi antar sesama umat seagama (antara Maronit dengan Orthodoks Timur dan Syira, atau antara Islam Sunni dengan Syiah) alih-alih konflik antar agama. Nah kalau sudah begini, tentu suatu kesalahan fatal kalau kita menyamakan semua mahzab dalam keyakinan umat Al-Masih Timur.
Kekaburan yang terakhir juga tak kalah parahnya. Orang-orang suka salah memahami nama atau malah salah memberi nama kepada mahzab-mahzab dalam keyakinan umat Al-Masih Timur.
- Sebutan “Kristen” mungkin bisa tepat untuk menyebut umat ini, bisa juga tidak, sama seperti sebutan “Nasrani”. Maka lebih baik jika menyebut mereka dengan “umat Al-Masih” (Bahasa Arab: Al-Masihin) saja.
- Sebutan “Katolik” hendaknya tidak dimaknai sebagai “Katolik Roma”, sebab katolik itu sejatinya berarti “Am, Universal”. Jadi seluruh umat Al-Masih (baik Barat maupun Timur) tentu terhisab dalam satu jama’ah yang kudus, rasuliyah dan katolik sebagai mana dinyatakan dalam Kanun al-iman (Pengakuan Iman atau Kredo) Nicea-Konstantinopel. Maka dari itu semua mahzab dalam keyakinan Al-Masiyah tentu berhak menyebut dirinya “katolik”. Meski di Barat, kaum Protestan umumnya alergi dengan istilah ini, di Timur istilah “katolik” diterima dengan hormat.
- Sebutan yang sifatnya tuduhan, yang umumnya dimunculkan oleh Gereja Barat, sudah sepatutnya dihindari. Alih-alih menyebut “Kaum Jacobit” atau “kaum monofisit”, hendaknya kita menyebut “Kaum Orthodoks Oriental atau Syria”, “kaum meafisit”, atau paling banter “kaum non-kalsedon”. Alih-alih menyebut “Nestorian”, hendaknya kita menyebut “Kanisah Assyrian Timur”.
Seperti telah disampaikan, ada empat mahzab besar (Orthodoks Timur, Orthodoks Oriental, Assyrian Timur dan Katolik Timur) dan beberapa sempalan kecil dalam umat Al-Masih Timur. Diantara semuanya mahzab Katolik Timur mungkin yang paling beragam coraknya, semua aliran dalam mahzab Katolik Timur (Maronit, Melkit, Khaldean, Katolik Koptik, Ukranian, dll) hanyalah disatukan oleh persekutuan mereka dengan Paus di Roma, ritualnya amat beragam, sebagian mirip dengan salah satu dari ketiga mahzab lainnya. Sedangkan Kanisah Assyrian Timur hanya memiliki satu corak ajaran dan tradisi. Gereja Orthodoks Oriental merupakan persekutuan dari lima cabang (Gereja Orthodoks Koptik, Gereja Orthodoks Syria dengan Gereja Orthodoks Malangkara sebagai cabang independennya, Gereja Orthodoks Armenia, Gereja Tehawedo Orthodoks Ethiopia dan Gereja Orthodoks Tehawedo Eritrea) dengan Patriakh Gereja Aleksandria (Orthodoks Koptik) sebagai yang dituakan. Sementara itu mahzab Orthodoks Timur memiliki empat belas cabang yang saling setara (diantaranya Gereja Orthodoks Konstantinopel, Yunani, Rusia, Serbia, dll) dengan Patriakh Gereja Konstantinopel sebagai yang dituakan.
Selain karena doktrinnya, umat Al-Masih Timur juga dibedakan atas bahasa awal liturginya. Ada yang berbahasa Aram atau Syria, Koptik, Armenia, Yunani, dan Latin. Dalam perkembangannya sebagian besar umat yang memakai Bahasa Aram atau Syria dan Koptik akhirnya mengadopsi Bahasa Arab. Sementara yang berbahasa Yunani ada yang akhirnya mengadopsi Bahasa Slav dan Bahasa Eropa Timur yang lebih modern.
Waraqah bin Naufal katanya seorang kristen, lantas kristen yang bagaimana pula dia itu? Sangat sedikit umat Nabi Muhamad yang bisa memberi jawab pasti soal hal ini. Di sisi lain kebanyakan umat Al-Masih Barat tidak peduli akan riwayat tersebut, beberapa malah meragukan kebenarannya.
Ya, lagi-lagi semuanya mentok, sebab yang sering dibangun dalam beragama adalah tembok, bukannya jembatan. Padahal peran Waraqah bin Naufal, sama seperti seorang Rahib Nasrani di Bahira dan Raja Negus dari Habbasiyah (Ethiopia) sangat menarik untuk diperhatikan. Baik dalam kaitannya dengan sejarah perkembangan agama Islam, juga sebagai titik temu dalam dialog antar dua umat Ibrahim ini.
Nah, Waraqah menurut beberapa riwayat adalah seorang pemimpin Umat Al-Masih di Mekkah. Ia adalah seorang yang paham Kitab Suci umat Al-Masih dalam bahasa aslinya (Sahih Bukhari 1:3; Sahih Muslim 301). Waraqah sangat berperan dalam meneguhkan hati Nabi Muhamad atas pewahyuan yag di terimanya. Beberapa sejarahwan Islam bahkan meyakini Waraqah lah yang mengawinkan Nabi dengan Siti Khadijah (saya mengutip Tuan K.H Munawar Khalil dalam Burhanuddin, 1984:10-11). Hal yang mungkin menjadi alasan mengapa Nabi Muhamad tetap bermonogami selama masa hidup Khadijah (menurut tradisi umat Al-Masih dalam peneguhan perkawinan ada ikrar untuk hidup bermonogami dengan pasangannya, sampai kematian memisahkan).
Mengapa Waraqah yang mengawinkan? Apakah Siti Khadijah juga seorang pengikut Al-Masih? Mungkin saja, jika menilik pakaiannya yang serba tertutup dan berbeda dengan kebanyakan perempuan Arab waktu itu, ada kemungkinan ia seorang biarawati (dalam beberapa mahzab Al-Masih Timur biarawati boleh menikah), namun tentu sulit sekali untuk membuktikannya. Ataukah Nabi Muhamad yang seorang pengikut Al-Masih, mengingat waktu kecil ibunya juga membawa dia kepada seorang Rahib umat Al-Masih di Bahira? Mungkin, namun pendapat ini akan ditentang oleh hampir semua riwayat yang menyebut bahwa Sang Nabi adalah seorang Hanif (monotheisme Ibrahim yang diturunkan lewat Ismail). Tapi setidaknya kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa Nabi Muhamad cukup dekat dan sangat menghargai satu bentuk keyakinan umat Al-Masih yang disebut dalam Al-Quran sebagai “Nasrani”. Lantas, umat Al-Masih bagaimanakah “Nasrani” yang satu ini?
Yang jelas “Nasrani yang benar”, yang dimaksud oleh Qur’an, bukanlah Nasrani seperti beberapa bidah di Mekkah, yang disebut sebagai “Nasrani kafir” oleh Al-Quran. Di Mekkah waktu itu memang berkembang ajaran-ajaran yang mirip iman umat Al-Masih sejati, namun kenyataannya sesat (Bambang Noorsena, History of Allah, Pasal 3). Injil dan Al Quran sama-sama menentang umat yang menyatakan Siti Maryam, Bunda Al-Masih, sebagai ilah. Keyakinan ini merupakan sinkretisme antara keyakinan Al-Masih dengan ritus kepercayaan kepada Dewi Kesuburan (disebut dengan nama berbeda-beda diberbagai tempat Isthaar, Asytera, Diana, Aikah, dll dilambangkan dengan seorang perempuan). Kedua kitab suci ini juga menentang penyembahan kepada tiga ilah. Ajaran triteisme ini jadi berkembang, karena keyakinan tauhid umat Al-Masih dimaknai secara politeisme, jadinya umat bidah ini menyembah kepada tiga tuhan, Bapa, Maryam dan Al-Masih. Ada lagi ajaran yang mengatakan Al-Masih itu adalah anak biologis Allah, ada pula ajaran yang menolak kemanusiaan Al-Masih, sehingga meragukan kematian Al-Masih di salib. Kedua ajaran ini agaknya terpengaruh oleh pandangan Gnostik dan mitologi Arab. Tapi tentu saja dari sekian banyak yang palsu, masih ada yang asli.
4. SEJARAH KANISAH ASSYIRIAN TIMUR
Sampainya iman umat Al-Masih di jazirah Arab, tidak lepas dari pengaruh para hawariyyun dan juga kaum awam dalam umat ini, yang berkelana ke wilayah Timur Palestina dan Syria. Menurut tradisi, dua orang hawari, yaitu St. Thomas (Mar Thoma) dan St. Tadeus (Mar Addai), bahkan sampai ke tanah Persia dan India Utara dalam dakwah injiliyahnya. Sudah pasti mereka melewati sebagian kota-kota di Semenanjung Arabia, saat melakukan perjalanan ini. Selang beberapa waktu kemudian, dicatat oleh sejarahwan Eusebius, bahwa tokoh gerejawi Aleksandria, Origenes (Mar Urijan) pada tahun 200-an, mengunjungi umat Al-Masih di wilayah Arab dan Persia yang ternyata jumlahnya sudah sangat berkembang. Konsili Efesus tahun 431 bahkan mencatat ada seorang uskup dari Arab, bernama Abdullah (Yunani : Abdelles) yang mewakili gereja-gereja di Arab untuk menghadiri konsili itu.
Semenanjung Arab di tahun 200-600an adalah wilayah penyangga, sama seperti Edessa di sebelah utaranya. Ada dua imperium besar yang mengapit wilayah ini, Kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) di sebelah Barat dan Shah Persia (Iran) di Timur. Bahasa Arab waktu itu belumlah berkembang, masih merupakan dialek khusus dari Bahasa Aram atau Syria Timur. Umat Al-Masih yang lebih terpelajar banyak membantu perkembangan Bahasa dan Aksara Arab dengan banyak meminjam istilah Aram (Lihat bukunya Bambang Noorsena dan Robert Jaffray).
Umat Al-Masih di wilayah Arab lebih netral secara politis. Berbeda dengan di Byzantium, dimana umat Al-Masih mendapat perlindungan negara, atau dengan di Persia dimana umat Al-Masih malah ditindas, karena dicurigai sebagai antek-antek Byzantium. Namun semuanya masih satu adanya. Waktu itu di segala tempat, meski coraknya berbeda, semua umat Al-Masih mengakui kalau mereka adalah jamah yang satu, kudus, katolik dan rasuliyah (meneruskan tradisi para hawariyyun).
Setelah dua konsili besar yang keputusannya diterima di semua jamaah Al-Masiyah (Konsili Nicea 325 dan Konsili Konstantinopel 381), umat Al-Masih di Persia mulai berusaha untuk tidak disamakan dengan rekan-rekannya di Byzantium, agar dipandang loyal oleh Shah Persia. Isu teologis untuk agenda ini akhirnya memang ada. Tersebutlah Nestorius, seorang uskup di Konstantinopel, Ibukota Byzantium, yang menekankan ajaran tentang keterpisahan antara kodrat kemanusiaan Al-Masih dengan kodratnya sebagai Firman Allah. Ajarannya ini ditentang oleh Kyrillios, uskup di Aleksandria, yang sangat menekankan keilahian Al-Masih. Kyrillios akhirnya menggagas Konsili ketiga di kota Efesus (431) dan dengan pengaruhnya akhirnya Nestorius disingkirkan dan ajarannya dinyatakan sesat.
Umat Al-Masih di Persia tidak hadir pada konsili itu, karena sedang terjadi perang antara Byzantium dan Persia, sementara konsili dilangsungkan di wilayah Byzantium. Namun mereka sangat menghargai Nestorius, mengingat ia adalah murid Theodorus dari Mopsuestia yang adalah guru besar sekolah teologi Antiokhia (hampir semua imam di Persia, dididik di sekolah Antiokhia atau oleh alumni sekolah ini). Maka dari itu mereka menolak hukuman terhadap Nestorius dan melindungi para pengikutnya. Umat Al-Masih yang tinggal di kekaisaran Romawi Timur menentang hal itu dan menuduh Umat Al-Masih di Persia sebagai “Nestorian”. Sementara itu umat Al-Masih di jazirah Arab terpecah, ada yang mengikuti rekan-rekannya di Byzantium (mengingat itu adalah suara mayoritas), ada pula yang mengikuti rekan-rekannya di Persia (mengingat kebanyakan ulama di Arab juga keluaran sekolah Antiokhia). Yang disebut terakhir ini akhirnya mempersekutukan diri dengan rekan-rekannya di Persia dalam satu kesatuan yang menyebut dirinya “Gereja Timur yang Katolik, Kudus dan Rasuliyah”. Karena mereka banyak memakai Bahasa Aram dialek Timur (Assyrian), maka jama’ah ini juga dikenal dengan sebutan Kanisah (Gereja) Assyria Timur.
Selepas perpisahan ini, Kanisah Assyria Timur, mengalami perpecahan antara yang pro dan kontra terhadap pemisahan diri. Namun selepas kepemimpinan Mar Babai Agung (610), jamaah ini justru berkembang pesat. Mereka tak lagi dianiaya oleh Shah Iran, sehingga memudahkan mereka membangun banyak sekolah dan mengutus juru dakwah ke berbagai tempat. Di India, Cina, bahkan Nusantara terdapat jejak-jejak dakwah para imam Assyria Timur ini antara abad VI-XI. Mereka juga mencintai pembelajaran, Umat Al-Masih inilah yang menerjemahkan banyak sekali literatur Yunani ke Bahasa Aram Timur dan kemudian diwariskan serta dikembangkan luar biasa pada zaman kekhalifahan Islam setelahnya.
Nampaknya Waraqah memang berasal dari mahzab ini. Perhatikanlah bahwa masa-masa Nabi Muhammad mendapat wahyu, itu kira-kira sama dengan masa dimana Kanisah Assyrian Timur sudah mulai berkembang lagi. Sangat mungkin jama’ah yang kuat yang berada di Mekkah adalah mahzab Assyria Timur. Apalagi jama’ah Assyria Timur memang banyak memberi penekanan ke soal kodrat kemanusiaan Al-Masih. Mereka sangat sering menyebut dirinya sebagai Pengikut Sang Orang Nazaret (Nazarini atau Nasrani), tentu pas dengan keterangan Al Quran dan sejahrawan Islam.
Kalau benar begitu, lewat mahzab ini kita tentu bisa menjumpai banyak titik temu antara Umat Al-Masih dengan Umat Nabi Muhammad, bukan? Sayangnya belum tentu. Sebab titik temu itu kini semakin jauh. Umat Assyrian Timur adalah umat yang paling banyak didiskriminasikan dalam beberapa pemerintahan Khalifah Islam yang lebih baru (terutama oleh dinasti Ottoman), meski sebelumnya mereka diperlakukan dengan baik oleh pemerintahan Nabi dan para Khulafa’ur Rasyidin. Keberadaan mereka saat ini hanya tinggal sekitar 50.000 jiwa di tanah aslinya (sekarang Irak Utara, Syria Utara, Iran dan Turki). Perlakuan itu yang sering menjadi luka untuk dialog, sebab mereka hanya diperhadapkan pada kebencian. Ah! sayang sekali.
Kali ini saya harus minta maaf kepada kaum pecinta fanatik kekhalifahan Ottoman, maaf sedikit membongkar, hehe ....
“Perpulungen teledis. Perpulungen kundul”
Dua kalimat itu petunjuk laku yang paling sering anda jumpai jika membaca tata liturgi Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Pak (Ustad) Kaban pasti mengetahui kalimat formal itu berarti, “jama’ah berdiri” dan “jama’ah duduk”, satu gerak yang paling sering dilakukan di ibadah gereja-gereja yang berasal dari Eropa Barat. Memang kenapa harus berdiri dan duduk? Pak Kaban mungkin tak tahu jawabnya, yang jelas itu adalah keharusan dalam tata ibadah gerejawi. Tapi adakah itu diharuskan dalam Kitab Suci?
Ternyata dalam perkumpulan raya yang dituliskan dalam Kitab-kitab Taurat dan Para Nabi, tidak ada petunjuk untuk berdiri-duduk, lalu menyanyikan lagu-lagu bernada mayor, seraya melipat tangan dengan mata terpejam yang kesemuanya didahului oleh bunyi lonceng. Yang ada justru, menegadahkan tangan, membungkuk, berlutut, bersujud, serta membaca ayat-ayat kitab suci dengan didaraskan(ditilawatkan), terkadang didahului dengan tiupan sangkakala atau seruan beribadah.
Kalaulah Pak Kaban sempat membaca tulisan Gubernur Nahimya (Nehemia) berikut ini, ia mungkin sedikit heran, betapa bedanya ritual ibadah Yahudi dengan yang dilihatnya pada Umat Al-Masih di Tanah Karo dulu. Juga betapa miripnya ritual itu dengan apa yang dilakukannya sekarang di Jakarta.
Ezra (Uzair), ahli kitab itu, berdiri di atas mimbar kayu yang dibuat untuk peristiwa itu ...
Lalu Ezra memuji TUHAN, Allah yang maha besar, dan semua orang menyambut dengan: “Amin, amin!“, sambil mengangkat tangan. Kemudian mereka berlutut dan sujud menyembah kepada TUHAN dengan muka sampai ke tanah...
Bagian-bagian dari pada kitab itu, yakni Taurat Allah, dibacakan dengan jelas, dengan diberi keterangan-keterangan, sehingga pembacaan dimengerti ... (Nehemia 8: 4, 7, 9)
Jika Pak Kaban memiliki rasa penasaran yang dibalut oleh kerendahan hati, mungkin ia akan bertanya, mengapa ritual seperti ini tidak dilihatnya dalam umat Al-Masih? Atau jika balutannya adalah tuduhan, ia mungkin sekedar berujar, semua umat Al-Masih saat ini memang sudah melenceng dari yang diajarkan Allah lewat para nabi, Islamlah yang datang memulihkanya. Sayangnya tidak demikian. Bentuk seperti itu masih ada di sebagian Umat Al-Masih Timur, bahkan masih terlihat dalam sebagian kecil tradisi kuno Gereja Barat.
Dalam upaya dakwah injiliyah memang ada dua hal yang menjadi pekankan, murninya pesan asli Injil atau terserapnya hakikat ajaran Injil ke dalam budaya setempat. Para perinis dakwah Injil di Barat memang lebih menekankan pada hal yang kedua, sementara di Timur mencoba menyeimbangkan kedua amaran itu. Maka dari itu para penginjil di Eropa merubah beberapa hal. Sujud dimaknai sebagai bentuk penghormatan ala Timur, sedang di Eropa (apalagi setelah abad pertengahan), jika raja atau orang yang dihormati memasuki ruangan, orang menghormatinya dengan berdiri. Mengumpulkan orang dengan suara seperti berteriak dirasa kurang sopan kalau di Eropa, maka seruan beribadah digantikan dengan lonceng. Tilawat dan nyanyian padang pasir pun dirasa kurang tegas, sehingga digantikan dengan ucapan dan lagu bernada mayor. Penyelewengan kah? Tidak juga, sepanjang meyakini bahwa yang tidak boleh diubah hanyalah hakikatnya, bukan bungkusnya.
Memang setelah lewat ribuan tahun orang Eropa jadi bersikap kurang adil. Sebab jika mereka meneladani para juru dakwah injil Barat itu, harusnya mereka membiarkan orang-orang di Asia mengganti berdiri dengan sungkem atau tor-tor somba, sebagaimana mereka mengganti sujud. Harusnya mereka membiarkan bedug atau kentongan mengganti lonceng dan lagu-lagu pentatonik mengganti keruwetan melodi mayor ala Handel. Tapi sudahlah, toh mereka juga punya jasa meski sembari menjajah. Ups!
5. CIRI KHAS RITUAL IBADAH UMAT AL-MASIH TIMURBanyak tradisi keagamaan Yahudi yang masih diteruskan oleh umat Al-Masih, terutama yang disebutkan dalam Injil dan ajaran para hawariyyun. Tentu saja ada sedikit modifikasi dan pemahaman yang ditambahkan pada pewarisan tradisi tersebut, mengingat Al-Masih sendiri meneladankan hal-hal yang lebih hakiki dalam memaknai ritual-ritual tersebut.
- Shalat (doa Harian)
Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil (Mazmur 119:164).
"…. dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya." (Daniel 6:11b).
Pada zaman Al-Masih, tradisi shalat sudah sedemikian baku dan rutin dijalankan oleh semua umat Yahudi. Awalnya ada tujuh waktu shalat jika menuruti versi shalat panjang Nabi Da’ud, penulis Zabur. Ketujuh waktu itu adalah pagi-pagi benar (voker), pertengahan pagi hari, tengah hari (tsohorayim), pertengahan sore hari(minhah), petang hari (erev atau ma’ariv), malam (layla) dan tengah malam (kaytsi layla). Waktunya hampir setara dengan waktu shalat yang dilakukan dalam Islam (shalat lima waktu ditambah dua shalat sunnah, dhuha dan tahajud). Tapi umumnya umat hanya mengerjakan tiga dari tujuh waktu tersebut (pagi, siang dan petang, voker wa tsohorayim wa erev), seperti yang diteladankan oleh Nabi Danil (Daniel) ketika di pembuangan Babil. Selepas pembuangan Babil, minhah (shalat sore) mulai ditambahkan ke dalam ketiga waktu shalat tadi. Namun belakangan para rabbi dalam Talmud memberi keleluasaan, sehingga umat boleh hanya dengan mengucapkan syahadat Yahudi (syema) pada petang dan pagi hari (hal yang akhirnya dilakukan oleh sebagian mahzab Yahudi modern, meski demikian bererapa mahzab kuno masih kukuh mempertahankan tradisi shalat). Gerakan di dalam shalat Yahudi ini merupakan kombinasi dari berbagai gerakan yang disebutkan dalam kitab suci, yaitu berdiri tegak, membungkuk, berlutut, sujud sampai mencium tanah, lalu berdoa menegadahkan tangan.
Kitab Injil mencatat bahwa Al-Masih juga melakukan shalat tersebut (misal Markus 1:35), demikian pula para muridnya (misal Kisah Para Rasul 3:1). Yang semakin menarik, Injil menunjukkan dengan jelas bahwa peristiwa-peristiwa penting dalam iman umat Al-Masih justru terjadi pada jam-jam tersebut. Penjatuhan hukuman atas Al-Masih dan peristiwa nuzulnya Dzat Allah (Pentakosta) terjadi pada jam shalat pagi. Penyaliban Al-Masih terjadi pada jam shalat tengah hari. Peristiwa wafatnya Al-Masih terjadi pada jam shalat sore, penguburannya pada jam shalat petang hari. Perjamuan Suci dilakukan oleh Al-Masih dan murid-muridnya pada jam shalat malam. Lalu jam shalat tengah malam dimaknai sebagai peristiwa menghayati penangkapan Al-Masih, sekaligus sebagai seruan berjaga-jaga, karena kedatangan Al-Masih yang kedua kalinya terjadi dengan tiba-tiba, diibaratkan seperti pencuri yang datang tengah malam. Puncak sekaligus awal dari iman umat Al-Masih tergambar dalam penghayatan akan jam shalat pagi, mengenang peristiwa Al-Masih dibangkitkan dan oleh kuasa Allah ia mengalahkan maut. Hal-hal inilah yang akhirnya menambah penghayatan pemaknaan umat Al-Masih akan shalat yang diwarisi dari tradisi Yahudi tersebut. Maka dari itu muncullah shalat khas umat Al-Masih.
Bentuk tertua shalat umat Al-Masih adalah shalat dari Mar Yakub (St. Yakobus saudara Al-Masih). Gerakannya meliputi tanda salib (sebagai lambang mengikut Al-Masih), berdiri dengan bersidekap, membungkuk, berlutut, sujud dengan muka mencium lantai, dan berdoa dengan menegadahkan tangan. Doa-doa yang dikumandangkan dalam shalat ini umumnya mengutip kitab Mazmur atau Zabur, lalu ditambahkan dengan doa yang diajarkan oleh Al-Masih (doa “Bapa Kami” atau shalatul rabbaniyah), beberapa doa rutin (trisagion, mubarak, dll.) serta doa syafaat. Awalnya, arah menghadap (kiblat) dalam shalat ini adalah Baitul Maqdis (Bait Allah) di Yerusalem. Selepas penghancuran kota Yerusalem oleh Jendral Titus (tahun 70M), kiblat dimodifikasi dengan menghadap ke timur (mengacu pada ayat Matius 24:27, yang menyebut bahwa kedatangan Al-Masih dari arah timur pada akhir zaman nanti dan ayat II Petrus 1:19, dimana Al-Masih diibaratkan sebagai Bintang Timur, terang yang sejati). Lalu sesudah Konsili Konstantinopel (381), Kanun al-iman (pengakuan iman atau kredo Nicea-Konstantinopel) disertakan sebagai bagian yang diucapkan dalam shalat ini.
Shalat Mar Yakub mulanya dikembangkan di Yerusalem, lalu seluruh Palestina dan Syria. Hingga saat ini masih dikembangkan di sebagian jama’ah Al-Masih Syiria (khususnya Kanisah atau Gereja Orthodoks Syria yang mahzabnya Orthodoks Oriental). Selain bentuk shalat ini, ada beberapa bentuk shalat lain yang merupakan adaptasi setempat dari shalat Mar Yakub. Shalat Mar Addai di Persia (dipakai di Kanisah Assyiria Timur), St. Markus dan St. Panteus di Aleksandria (dipakai di Orthodoks Koptik) adalah bentuk shalat yang lebih baru dari shalat Mar Yakub. Agaknya beberapa jama’ah memang melakukan adapatasi, terutama agar tidak lantas disamakan dengan umat Yahudi. Ada pula penambahan beberapa doa, karena penekanan doktrin tertentu (misalnya saja penambahan frasa dalam doa Trisagion di mahzab Orthodoks Koptik yang menekankan keilahian Al-Masih sebagai Firman Allah).
Setelah tradisi biara dikembangkan oleh St. Antonius dari Aleksandria dan St. Paulus dari Thebes, perubahan juga dilakukan dengan memperbanyak pengulangan (raka’at). Kemudian St. Basilus dan St. Benedictus menambahkan jumlah sujud, berlutut dan perenungan berdiam diri dalam ritus shalatnya, sebagai bentuk disiplin dan perendahan diri di hadapan Allah. Bentuk inilah yang akhirnya dikembangkan di Barat. Meski waktu-waktu shalatnya masih dipertahankan, gereja Barat apalagi setelah era biarawan Fransiskan dan Dominikan, memang tidak mengenali lagi bentuk-bentuk gerakan shalat, namun lebih banyak posisi berlutut dan berdiam diri (berdoa dalam hati).
Shalat ala biara itu memang jadi terlalu panjang, sehingga di sebagian jama’ah Barat, shalat hanya dilakukan oleh para rohaniwan. Untuk jama’ah awam diformulasikan doa harian yang lebih pendek, terutama untuk dua waktu khusus yaitu petang (Bahasa Latin: vesper) dan pagi (loudes). Di beberapa jama’ah Timur (terutama yang mahzabnya Katolik Timur seperti Melkit dan Khaldean) hal ini juga terjadi, sehingga shalat atau doa harian bukanlah hal yang lazim dikerjakan oleh umat awam. Tapi tentu tidak semuanya begitu, masih banyak umat Al-Masih Timur yang mempertahankan shalat, walau bukanlah suatu hal yang wajib seperti di Yahudi Kuno dan Islam. Dalam perspektif umat Al-Masih Timur, shalat adalah bentuk penghayatan dan ekspresi iman dan kecintaan pada Allah serta penyerahan diri untuk mengikuti teladan Al-Masih, jadi umat yang sungguh-sungguh dalam imannya pasti melakukan shalat.
Nah, sesudah sejauh ini, apa kabar ya, Pak Kaban? Hehehe …
Mohon maaf untuk Pak Kaban, bukan bermaksud menyinggung kok, hanya suka aja sama Bapak, maksudnya suka mengambil Bapak sebagai contoh. Ups!
Catatan: postingan tentang mahzab-mahzab lain dalam Umat Al-Masih Timur (Orthodoks Oriental, Orthodoks Timur dan Katolik Timur) sengaja dikemudiankan, mengingat beberapa pertanyaan penasaran akan ritual shalat umat Al-Masih Timur.
Jika “tujuh” sering disemiotikkan sebagai “kesempurnaan”, maka “enam” adalah lambang ketaksempurnaan itu, dimana “yang tak sempurna” berusaha menjumpai kesempurnaan. Enam juga melambangkan kemanusiaan, yaitu pihak “yang tak sempurna namun berusaha menjumpai kesempurnaan” tadi. Jadi bukan kebetulan (frasa nampaknya selalu bertendensi rohani) kalau kajian yang keenam soal umat Al-Masih Timur ini, erat kaitannya dengan ketaksempurnaan manusia. Tapi hati-hati, berhubung “enam yang diulang tiga kali” dekat artinya dengan “si jahat”, maka harus dijauhi pengulangan tiga kali (misalnya dengan ketigakalinya mengatakan: “lanjuuut…”, tanpa komentar lanjutan, hehehe…).
Sebenarnya upaya menjumpai Yang Sempurna adalah inti dan hakikat dari shalat, ritual yang telah dibahas sebelumnya. Namun pemaknaan seperti itu akan semakin mendalam jika kita juga melihat unsur ritual lain yang mendukung shalat. Dalam (sebagian) umat Al-Masih Timur, shalat dipraktikan bersama beberapa ritual lain yang juga bisa diperlihatkan paralelisasinya dengan yang dilakukan di umat Nabi Musa dan umat Nabi Muhammad.
- Membasuh diri (berwudhu).
Tapi sayang, kemudahan seperti itu sering disalah arti, bahwa manusia bisa bebas saja seenaknya di hadapan Allah. Orang sering lupa, bahwa kalau dia diperkenan untuk menghela nafas sembari mengucapkan doa, itu adalah semata-mata karunia Allah. Allah yang menguasai setiap detak dan hembusan hidup manusia. Maka dari itu sedari awal manusia perlu diingatkan dan mengingat-ingat posisi dia sebenarnya saat berdoa.
Ritual membasuh diri dalam jama’ah Israil
Imam besar dalam umat Israil Purba sangat menyadari hal ini. Sekali setahun sang imam akan masuk ke Ruang Maha Suci, tempat paling kudus dalam Kemah Suci atau Bait Allah, dimana diletakkan tabut perjanjian lambang shekinah (sinar kemuliaan dan kehadiran Allah). Sang imam harus pasrah, dengan kerendahan hati mengakui bahwa Allah lah yang empunya hidupnya. Imam besar itu lalu mengikat kakinya dengan tali panjang. Seandainya ia tidak keluar lagi dari ruangan itu, jelaslah bagi umat bahwa Allah tidak berkenan padanya. Mereka akan menarik mayat sang imam dari luar. Wahhhhhh… Benar sekali pasrah, merendahkan hati, mengakui keberdosaan, sembari menyadari hanya dibolehkan karena welas asih adalah sikap hati yang benar untuk menghadap Yang Maha Suci.
Tidak hanya untuk imam besar. Para imam lain juga diharuskan memiliki sikap yang sama. Untuk itulah sebelum ibadah mereka melakukan satu ritual untuk mengingatkan dirinya agar bersikap benar saat menghadap Tuhan. Ritual itu adalah pembasuhan diri.
Apabila mereka masuk ke dalam Kemah Suci dan apabila mereka datang mendekat kepada mezbah itu, maka mereka membasuh kaki dan tangan–seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa. (Keluaran 40:30-32)
Yang menarik bahwa bejana tempat untuk pembasuhan itu dasarnya berupa cermin:
Dibuatnyalah bejana pembasuhan dan juga alasnya dari tembaga, dari cermin-cermin para pelayan perempuan yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan. (Keluaran 38:8)
Jadi setiap kali imam membasuh diri, ia selalu bercermin, lambang seruan agar ia selalu menyadari diri dan sikapnya.
Awalnya ritual pembasuhan ini hanya untuk imam, sedang untuk umat awam hanya ditahirkan lewat air pentahiran (Lihat Bilangan 19). Namun pada zaman Nabi Daud, upacara membasuh diri sebelum beribadah juga ditujukan pada siapa saja yang melakukan shalat. Pembasuhannya tidak hanya pada kaki dan tangan, tapi juga telinga, mulut dan keseluruhan wajah. Doa untuk ritual pembasuhan itu dituliskan oleh Nabi Daud dalam salah satu bab di kitab Mazmur (Zabur)-nya:
Dari Daud. Berilah keadilan kepadaku, ya TUHAN, sebab aku telah hidup dalam ketulusan; kepada TUHAN aku percaya dengan tidak ragu-ragu. Ujilah aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku. Sebab mataku tertuju pada kasih setia-Mu, dan aku hidup dalam kebenaran-Mu. Aku tidak duduk dengan penipu, dan dengan orang munafik aku tidak bergaul; aku benci kepada perkumpulan orang yang berbuat jahat, dan dengan orang fasik aku tidak duduk.
(Umat berdiri bertafakur, sembari menguji hati)
Aku membasuh tanganku tanda tak bersalah, lalu berjalan mengelilingi mezbah-Mu, ya TUHAN,
(Kedua tangan dibasuh)
sambil memperdengarkan nyanyian syukur dengan nyaring..
(Kedua telinga dibasuh)
dan menceritakan segala perbuatan-Mu yang ajaib.
(Berkumur)
TUHAN, aku cinta pada rumah kediaman-Mu dan pada tempat kemuliaan-Mu bersemayam. Janganlah mencabut nyawaku bersama-sama orang berdosa, atau hidupku bersama-sama orang penumpah darah, yang pada tangannya melekat perbuatan mesum, dan yang tangan kanannya menerima suapan.
(Membasuh wajah dan seluruh kepala, karena dalam kepercayaan Yahudi kepala itu adalah lambang nyawa seseorang. Bagi beberapa mahzab Yahudi, ayat ini juga yang menjadi dasar bahwa bagian tubuh yang terlebih dahulu dibasuh adalah bagian sebelah kanan)
Tetapi aku ini hidup dalam ketulusan (dalam Bahasa Ibrani ani betumi elek, arti harafiahnya : “aku akan berjalan dalam ketulusan”); bebaskanlah aku dan kasihanilah aku.
(Kedua telapak kaki dibasuh)
Kakiku berdiri di tanah yang rata; aku mau memuji TUHAN dalam jemaah.
(Seluruh tungkai kaki dibasuh)
[Seruan doa tercantum dalam : Mazmur 26: 1-12]
Ritual pembasuhan ini menjadi hal yang wajib dan lazim dilakukan oleh umat Yahudi sebelum melakukan shalat dan bentuk perayaan lainnya. Belakangan dalam Talmud para rabbi memberi keringanan untuk wilayah yang langka air, sehingga boleh hanya dengan menggunakan tanah atau debu yang bersih (mirip dengan tamayyum dalam Islam)
Ritual membasuh diri dalam umat Al-Masih
Umat Al-Masih juga menghayati upacara pembasuhan itu, apalagi Al-Masih sendiri meneladankan pembasuhan kaki kepada para hawariyyun saat Peramuan Suci Terakhir (Dicatat dalam Inil Yohanes 13). Meski hanya membasuh kaki, namun Al-Masih mengakui bahwa memang ada pembasuhan kepala dan tangan (Yohanes 13:9-10). Jadi dalam hal ini, pembasuhan diri (khususnya kaki) diberi makna lebih dalam oleh Al-Masih. Bahwa bukannya air pembasuhan itu yang menguduskan kita, tapi karunia iman dan teladan sikap yang rindu mengasihi Tuhan serta mau melayani-berkorban bagi sesama.
Sebelumnya, Yohanes Sang Pembabtis sebagai pendahulu Al-Masih, telah meneladankan bentuk lain pembasuhan, yaitu pembaptisan (menenggelamkan diri kedalam air sebagai tanda taubat). Umat Al-Masih mengadopsi hal ini mengingat Al-Masih juga dibaptiskan. Bagi umat Al-Masih pembaptisan adalah proklamasi diri kepada dunia, bukti bahwa ia menyerahkan diri bertaubat kepada Allah dan mengikut Al-Masih.
Kedua hal inilah yang ingin ditambahkan dalam memaknai pembasuhan sebagaimana ditulis dalam Surat Kepada Orang Ibrani:
Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni. (Ibrani 10:22)
Sehingga dalam perkembangan selanjutnya, umat Al-Masih melakukan tiga jenis upacara pembasuhan:
- Baptisan. Dilakukan sekali saat seseorang menerima ajaran Injil dan menyatakan diri mengikut Al-Masih. Asalinya dilakukan dengan cara menyelamkan seseorang ke dalam air yang mengalir. Namun diizinkan untuk hanya dipercikkan, jika air langka atau orang tersebut dalam keadaan sakit (dicatat dalam Kitab Didaskalia atau Ajaran Para Rasul).
- Pembasuhan sebelum shalat (doa harian) dan sebelum ibadah raya sebagaimana ritual umat Yahudi.
- Pembasuhan kaki umat oleh imam sekali dalam setahun saat melaksanakan Perjamuan Suci Perayaan Paskah. Ini dilakukan untuk mengenang dan meneladani kasih serta pengorbanan Al-Masih. Ritual ini juga dimakanai sebagai bentuk penggenapan upacara pentahiran di Yahudi. Dimana umat Al-Masih menyadari Al-Masih sebagai Imam Besar Sejati telah masuk ke Ruang Maha Suci Sejati menjadi pengantara sekali untuk selamanya (Ibrani 8).
Di Umat Al-Masih Timur, doa-doa untuk pembasuhan diri sebelum shalat masih tetap dipertahankan sebagaimana dalam umat Yahudi. Namun tentu saja dimaknai dengan pemaknaan yang diajarkan oleh Al-Masih dan para muridnya. Sehingga sebelum dan sesudah pembasuhan umat Al-Masih ini menyertainya dengan tanda salib.
- Doa bertasbih
Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN (terjemahan LAI untuk YHWH) itu Illah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Illahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu (Ulangan 6:8).
Tali ini merupakan bagian yang terpisahkan untuk shalat dan perayaan ibadah serta keseharian umat Yahudi. Hal tersebut menegaskan bahwa dalam segala hal umat menyadari Allah itu esa adanya, tiada terbagi-bagi serta tak satupun yang seperti apalagi setara dengan dia. Ini penting, sebab apalah artinya doa dan semua ritual ibadah, jika hati seseorang ternyata mendua, mempersekutukan Allah dengan yang lain.
Dalam umat Al-Masih Purba tali sembahyang digunakan juga, namun hanya yang dipegang dengan tangan. Mengapa demikian? Karena Al-Masih pernah mengecam penggunaan tali sembahyang yang begitu menyolok di kalangan ahli Taurat dan kaum Farisi. Dengan memakai yang demikian orang-orang ini justru memamerkan kepongahan rohani (Matius 23:5), sehingga menyalahi hakikat semula penggunaan tali sembahyang. Al-Masih bersabda agar umatnya melakukan kebajikan dengan sembunyi-sembunyi, dalam arti tidak dengan maksud agar dilihat “alim” oleh orang lain (Matius 6:1). Maka dari itu tali sembahyang tidak perlu terlalu diperlihatkan. Tambahan lagi para murid Al-Masih mengajarkan agar jama’ah pria dalam doa dan pertemuan tidak perlu lagi memakai tudung kepala, sebab kemuliaan Allah yang diajarkan oleh Al-Masih adalah penggenapan sejati dari kemuliaan Allah yang ditunjukkan lewat hukum Nabi Musa. Pria dalam umat Nabi Musa memang harus bertudung, namun tidak lagi demikian dalam umat Al-Masih, sebab janji kemuliaan itu sudah digenapi (2 Korintus 3:7-11). Jadi memang tali sembahyang di tudung kepala tidak digunakan lagi dalam umat Al-Masih. Umat Al-Masih hanya memakai tali sembahyang kecil yang dipengang dengan tangan.
Tali sembahyang Yahudi pun mengalami perubahan bentuk dalam ritual umat Al-Masih (dikenal dengan nama komboskini dalam Bahasa Yunani). Kedua ujung tali ini dipertemukan dengan salib ditengahnya, sebagai lambang Al-Masih telah menggenapi janji kemuliaan Allah dan memperbarui hubungan Allah dengan umat-Nya. Selain sebagai bentuk syahadat, tali sembahyang ini pun dimaknai sebagai bentuk seruan doa yang tak putus-putusnya (I Tesalonika 5:17) sebagaimana Al-Masih juga mengajarkan agar umatnya selalu berjaga-jaga dalam doa (Matius 26: 41).
Seiring dengan berkembangnya kehidupan bujangga atau biara (mirip dengan tradisi sufi di Islam), tali sembahyang menjadi elemen tak terpisahkan dalam ritual doa-doa yang mendalam. Dalam umat Al-Masih dikenal adanya Doa Puja Al-Masih dan Doa Tuhan Kasihanilah (Kyrie eleison) yang sangat sederhana, namun sangat mendalam maknanya. Doa inilah yang diseru berulang-ulang dalam hati sembari memusatkan diri pada keesaan Allah dan mengingat keteladanan Al-Masih sewaktu berdoa. Bagi orang yang pernah mengalaminya, keindahan dan keteduhan hati yang dirasakan memang sangat agung, nyaris tak tergambarkan lewat kata-kata. Setelah mengalaminya, yang ada hanyalah keheningan yang indah, berjam-jam bisa berlalu tanpa kata.
Bentuk tali sembahyang semacam ini akhirnya semakin beragam, sesuai dengan kekhasan budaya umat Al-Masih. Karena doa yang berulang seperti tadi, bentuk komboskini pun dirasa lebih enak jika berbentuk bulatan-bulatan tasbih. Sampai sekarang tali sembahyang seperti komboskini masih digunakan oleh umat Al-Masih Timur sebagai penghantar Doa Puja Al-Masih atau Kyrie tadi. Dalam mahzab Katolik Roma, doa yang mendalam itu dikenal dengan nama doa rosario, sehingga tali sembahyangnya disebut kalung rosario.
Sangat mungkin bentuk doa bertasbih inilah yang akhirnya juga diadopsi oleh umat Nabi Muhamad. Apalagi konsep yang mendasari pemakaiannya pun hampir mirip: syahadat dan doa yang tak putus-putusnya. Saya senantiasa mengingat ucapan dari seorang Sufi Andalusia, bahwa zikir paling agung dalam Islam adalah la ilaha’ilallah (tidak ada ilah selain Allah), namun beliau menyarankan agar kita hanya berzikir dengan menyebut “Allah… Allah…” saja. Mengapa? “Sebab”, katanya, “nafasku adalah milik Allah, apa jadinya jika aku mati sementara aku baru berzikir? Jangan-jangan aku malah berkata ‘la.. (tidak)’, kepada Allah…” Ah, bukankah itu satu sikap yang sungguh sangat tepat dalam memposisikan diri di hadapan Sang Pencipta?
Nampaknya sikap itu pula yang jadi kesimpulan bahasan kali ini.
---------------------------
Rido Simangunsong
---------------------------
Baca tanggapan atas tulisan ini di sini, di sini, di sini, di sini, di sini, dan di sini.
Tidak ada komentar