Kejanggalan Di Balik Peristiwa 911
Penyergapan dan pembunuhan Usamah bin Ladin di Pakistan oleh tentara Navy SEALS Amerika Serikat masih menyisakah banyak tanda tanya. Apalagi Pemerintah AS berulang kali mengubah pernyataan terkait penyerangan itu dan informasi seputar Usamah.
Malah sekarang yang menjadi sorotan bagi publik AS adalah Pakistan yang menurut mereka 'menyimpan' Usamah bin Ladin, si biang teror. Bukannya memperjelas informasi soal keterlibatan Usamah dalam berbagai peristiwa teror maupun mempermasalahkan dilanggarnya wilayah kedaulatan Pakistan oleh tentara AS.
Usamah bin Ladin sudah terlanjur kental menjadi sosok teroris, raja teroris malah. Ini gara-gara media internasional percaya begitu saja informasi pemerintah AS bahwa Usamah dan Alqaidah yang paling bertanggungjawab atas serangan ke menara kembar WTC di New York, 11 September 2001.
Sementara sejumlah keganjilan dan suara-suara kritis soal peran Usamah, Alqaidah, maupun intelejen dalam sejumlah peristiwa teror itu kerap terpinggirkan. Untuk memperkaya wawasan terkait teror inilah, Republika mengangkat tulisan dari jurnalis kawakan, Seymour M Hersh. Dalam bukunya Chain of Command yang terbit pada 2005, Hersh menulis sejumlah kejanggalan informasi dan intelejen seputar peristiwa 911. Dalam buku ini, Hersh banyak sekali mengutip sumber anonim, karena sensitifnya informasi yang mereka sampaikan. Berikut petikannya:
Peristiwa 911 membuat dunia intelejen AS kebakaran jenggot. Dua pekan setelah peristiwa mengerikan itu, kalangan intelejen ternyata belum mendapat informasi yang utuh soal siapa dalang peristiwa. Mereka masih bingung, ragu, dan tidak satu suara soal aksi ini. Siapa aktor di belakangnya, bagaimana bisa terjadi, berapa banyak yang terlibat, dan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Hersh menangkap ada dua konsensus umum saat itu di lingkaran intelejen AS. Pertama: Serangan 911 sangat brilian direncanakan dan dieksekusi. Kedua, dunia intelejen tak sanggup menyetop peristiwa tersebut.
Pada 23 September 2001, Menhan AS Colin Powell mengatakan ke publik bahwa pemerintah akan berusaha keras mencari siapa dalang peristiwa 911 dan menjabarkannya secara jelas. Powell juga langsung menuding Usamah sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas serangan. "Kami terus mengumpulkan informasi, informasi intelejen, FBI, dan lembaga keamanan lain terkait hal ini," kata Powell.
Namun penjabaran informasi itu tak kunjung dilakukan. Alasannya, informasi sangat rahasia dan tidak mungkin diberitakan. Namun pejabat senior CIA mengatakan pada Hersh bahwa hingga akhir September, AS belum punya informasi yang solid soal operasi, pembiayaan, dan perencanaan aksi WTC.
Pada saat yang sama, lingkar intelejen AS terbelah menjadi dua faksi. Pertama, faksi FBI yang percaya bahwa teroris yang menyerang WTC bukanlah organisasi yang solid. "Pemilihan orang-orang ini (teroris) seperti asal comot saja," kata si pejabat CIA. FBI mengakui mereka sukar mengakses informasi soal pelaku penabrakan pesawat ke sejumlah objek vital itu.
Ringkasnya, kata si pejabat CIA, serangan WTC berhasil karena untung-untungan. Bukan karena direncanakan sangat matang. "Yang benar saja. Lihat teroris-terorisi tu. Apakah kau percaya mereka bisa membajak empat pesawat? Empat! Kalau cuma satu pesawat mungkin. Mereka kan bukan manusia super."
Pendapat faksi kedua disokong oleh Pentagon dan CIA. Kedua badan ini 'memuji' aksi 911. Menurut mereka, aksi teror itu direncanakan dengan sangat rapi. "Teroris itu sangat profesional. Mereka tidak bisa dilacak," kata seorang pejabat. "Kemungkinan mereka bekerja dengan sistem sel. Tidak lebih dari enam orang dalam satu sel. Tiga orang mengetahui rencana, tiga lainnya tidak," kata si pejabat.
Pengungkapan jatidiri teroris 911 pun terkesan sangat cepat. Banyak penyidik kaget karena data-data identitas teroris seperti dokumen manual pesawat yang akan dibajak dan dokumen persiapan serangan, sangat mudah ditemukan. Salah satu mantan petinggi intelejen AS mengatakan pada Hersh, "Itu jejak para teroris kok mudah banget ditemukan. Seakan-akan ditinggalkan dengan mencolok agar FBI bisa segera melacaknya."
Menghubungkan Usamah bin Ladin dengan serangan di WTC juga sempat jadi tanda tanya para penyidik. Alis mereka berkerut ketika nama Usamah dimunculkan. "Si Usamah ini orang yang tinggal di gua di Afghanistan dan dia yang mengatur operasi teror ini? Ini operasi sangat besar! Usamah tidak mungkin bertindak sendiri," kata seorang pejabat CIA pada Hersh.
Tapi yang paling mengerikan, lanjut si pejabat CIA, "Adalah teroris ini tahu betul tahapan yang harus dilakukan dan mereka sangat tepat waktu. Mereka tahu bagaimana kebiasaan petugas keamanan pesawat. Mereka tahu semua."
Keraguan lain datang dari seorang pejabat militer AS. Kepada Hersh ia mengatakan, para pelaku serangan WTC begitu mudah mendapatkan visa masuk dan belajar terbang di AS. Melihat kenyataan itu, para penyidik bertanya-tanya, jangan-jangan ada keterlibatan badan intelejen asing lainnya di belakang para teroris.
Kekuatan Badan Intelejen AS (CIA) pada 2001 ternyata tidak 'sekuat' yang dibayangkan maupun yang mereka gaungkan. Sejak pecahnya Uni Sovyet, menurut Hersh, CIA sudah menjadi badan yang lebih birokratis dan enggan mengambil risiko tinggi. Struktur pejabat CIA banyak dihuni oleh agen intelejen yang seperti ini.
Secara bertahap, CIA mengurangi ketergantungannya dengan mengirim intel langsung ke negara bersangkutan. CIA juga mengurangi intelnya di negara-negara. Terutama intel yang berfungsi merekrut mata-mata lokal.
CIA lebih mengandalkan laporan intelejen dari intelejen negara sahabat maupun dari polisi di seluruh dunia. Menurut Hersh, dengan situasi demikian, sukar bagi CIA untuk kembali menempatkan intelnya di negara-negara.
Padahal, pada masa Perang Dingin dengan Sovyet, intel CIA selalu menyamar jadi diplomat dan pejabat kultural di tiap Kedubes AS di sejumlah negara penting.
Hersh mempercayai, saat serangan WTC, CIA tidak memiliki intel di kelompok Islam ekstrim. Ini dipertegas oleh mantan intel CIA sendiri, Reuel Marc Gerecht, dalam tulisannya di The Atlantic, 2001. Gerecht pernah menjadi pejabat CIA di Timur Tengah. Dia mengutip pernyataan seorang agen CIA, "Hah! Kebanyakan intel CIA itu tinggal di perkotaan di Virginia. Kami tidak melakukan hal-hal itu lagi (menyusup ke kelompok Islam ekstrim)," katanya.
Intel CIA lainnya mengatakan pada Gerecth, "Operasi intelejen yang bisa membuat agen-agen di lapangan terkena disentri tidak pernah terjadi lagi." Reputasi CIA pasca peristiwa 911 pun memudar.
Mantan intel CIA yang kenyang bertugas di Timteng secara langsung, Robert Baer, dalam bukunya See No Evil mengungkapkan dengan gamblang bagaimana sukarnya gerak gerik intel di lapangan.
Di pertengahan 1986, Baer bertugas di Khartoum, Sudan. Di bulan-bulan awal penugasan, aksi intel Baer berlangsung seru. Otoritas penuh ia dapatkan. CIA juga memasok berapapun uang yang ia minta. Tapi lama kelamaan, politik menyusup ke dunia intel. Operasi dibatalkan karena terlalu berisiko. Bahkan operasi yang berhasilpun dicela karena membuat negara tuan rumah kecewa. Agen-agen yang 'mengecewakan' langsung dipindah, bahkan bisa dibunuh.
Nasib Direktur CIA George Tenet berada di ujung tanduk. Namun untungnya, dia dibela oleh petinggi Gedung Putih. Wapres Dick Cheney mengatakan jangan menjadikan CIA sebagai kambing hitam dalam lolosnya aksi teror di AS.
Salah satu staf Komisi Intel di Senat AS mengatakan, "Sebelum peristiwa 911, Direktur CIA George Tenet sudah mendapat info soal Usamah sangat banyak. Tapi dia tidak mengelola informasi itu dengan baik. Dia bahkan tidak bisa mempertimbangkan dari informasi Usamah itu apa yang berbahaya bagi AS." Tenet lolos dari pemecatan. Tapi tiga tahun setelah 911, Tenet mengundurkan diri.
Enam bulan pertama 2001, sebenarnya komunitas intelejen AS sudah mendapat sinyal kuat tentang kemungkinan adanya aksi teror di negara mereka. Termasuk informasi serangan teror itu menggunakan pesawat sipil. Salah satu informasi intelejen itu malah terlebih dulu tiba di meja Badan Penerbangan Sipil AS.
Tercatat ada empat informasi intelejen kemungkinan adanya teror pesawat sipil AS. Salah satu berkas informasi, seperti dikutip Menlu AS saat itu, Condoleezza Rice, adalah sebagai berikut:
"Belum diketahui target spesifiknya, belum ada informasi kredibel terkait serangan ke penerbangan sipil AS. Tapi kelompok-kelompok teror diketahui saat ini sedang merencanakan dan melatih orang untuk pembajakan pesawat. Kami meminta pemerintah untuk sangat berhati-hati."
Namun, sekali lagi, imbauan ini didiamkan pemerintah AS. Pasca runtuhnya menara kembar WTC, FBI menemukan bukti bahwa keempat teroris yang membajak pesawat 911 beberapa kali naik pesawat berbarengan. Para teroris itu tampak mengecek rute mana yang paling tepat untuk membajak pesawat. Tercatat 12 kali empat teroris ini bepergian bersama. Namun tidak ada peringatan kewaspadaan terhadap mereka saat itu.
Cara teroris mengecek rute pesawat secara bersama-sama ini dinilai aneh oleh kalangan intelejen. Sebab lazimnya teroris profesional, kegiatan akan dilakukan secara rahasia dan meminimalisasi kemungkinan tertangkap bersama-sama. Apalagi dalam sistem sel yang kerap digunakan oleh kelompok teroris. Dalam kelompok sel itu, sebisa mungkin tiap anggota tidak mengenal anggota lain untuk mencegah risiko ditangkap.
Enam bulan setelah peristiwa 911, banyak para penyidik mengatakan pada Hersh, setelah mereka melihat data dan fakta, bahwa gerakan 911 bukanlah serangan yang rapi. Ada sejumlah kesalahan fatal yang dilakukan teroris. Namun pemerintah AS tidak tanggap mengenali kesalahan fatal itu.
Pada 2004, Hersh mengaku dihubungi oleh Myron Fuller, mantan agen FBI. Fuller pernah mengelola informasi dari agen FBI yang ada di luar negeri. Ia menangani laporan dari 200 agen di Asia dan Pasifik. Termasuk Pakistan dan Afghanistan.
Menurut Fuller, ia menerima bertumpuk-tumpuk laporan tentang kelompok ekstrimis Islam yang mengancam AS. Laporan ini ia terima sejak 1999. Ia memberi tahu Washington terkait rencana-rencana tersebut. Tapi laporannya tidak digubris.
Seorang staf Komisi Intelejen Senat AS mengatakan memang ada masalah komunikasi antara badan-badan intelejen AS. Masing-masing badan intelejen cenderung menyimpan informasinya rapat-rapat.
Sementara itu, jauh sebelum 2001, intelejen AS sudah mendapat gambaran kemungkinan serangan teror dengan pesawat udara. Pada 1994, teroris Aljazair membajak pesawat Air France. Mereka mengancam akan menabrakan pesawat ke Menara Eiffel, yang jadi kebanggaan Kota Paris. Pada 1995, polisi Manila menggagalkan rencana bom di 12 pesawat AS. Dalam aksi ini, salah satu teroris ternyata pernah sekolah penerbangan di AS. Dia juga berencana menerbangkan satu pesawat kecil berisi penuh bahan peledak dan menabrakannya ke markas CIA.
Pada 1996, Direktur FBI Louis Freeh meminta bantuan aparat Qatar untuk mewaspadai gerakan Khalid Sheikh Mohamed. Khalid adalah salah satu pentolah Alqaidah yang tengah berada di Qatar. Informasi yang didapat Freeh adalah, Khalid merencanakan menyerang pesawat AS. Di penghujung 1999, kelompok yang menamakan dirinya Alqaidah membajak pesawat India hanya dengan senjata pisau. Pesawat dibawa ke Kandahar, Afghanistan.
Begitu juga kebiasaan kelompok teroris menyekolahkan anggota mereka ke sekolah terbang di AS. Pada 1975, Komite Luar Negeri Senat AS menyatakan bahwa teroris Black September 1972 pernah bersekolah pesawat di AS. Hal yang sama juga dilakoni keempat teroris 911 yang mendapat pelatihan penerbangan di sekolah di Florida. Mantan direktur distrik Badan Imigrasi dan Naturalisasi AS, Bill Carroll, mengatakan ribuan pemuda Timur Tengah tiap tahunnya dapat dengan mudah masuk ke AS. Mereka belajar bagaimana menerbangkan pesawat.
Lebih detil tentang kejanggalan - dan kebohongan - peristiwa 911, silahkan simak di sini.
Gunakan google translater (tersedia di pojok kanan atas halaman) bila perlu.
[Sumber: republika.co.id, JAKARTA | Redaktur: Stevy Maradona]
Tidak ada komentar