Jawaban "Tafsir" Atas Hukum Rajam Dalam Islam
Fenomena dagelan yang dipertontonkan kaum liberal didalam menggugat syariat Islam semakin menjadi-jadi. Selain melakukan banyak kebohongan didalam berbagai statement dan tulisan-tulisan mereka, tak segan-segan mereka banyak memelintir dan mengaburkan dalil ataupun perkatan ulama’ yang tidak secara lengkap mereka nukilkan demi mengaburkan makna hukum yang sebenarnya.
Salah satu contoh bukti tersebut ialah sebuah tulisan dari seorang pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL) Dr. Moqsith Ghazali yang dimuat di situs islamlib.com dengan judul Tafsir atas “Rajam” dalam Islam. Lihat Di: http://islamlib.com/id/artikel/tafsir-atas-rajam-dalam-islam/
Sebagai bentuk tanggung jawab sesama muslim didalam saling nasehat-menasehati dalam kesabaran dan kebenaran, pada kesempatan ini Insya Allah saya kemukakan beberapa koreksi terhadap tulisan Dr. Moqsith Ghazali tersebut sebagai upaya untuk memberi sumbangsih kepada umat agar tidak terperangkap kedalam syubhat yang dilontarkan tokoh liberal tersebut didalam tulisannya.
Dr. Moqsith Ghazali :
Rajam adalah sanksi hukum berupa pembunuhan terhadap para pelaku zina muhshan (yaitu orang yang berzina sementara ia sudah pernah menikah atau masih dalam ikatan pernikahan dengan orang lain). Rajam dilakukan dengan cara menenggelamkan sebagian tubuh yang bersangkutan ke dalam tanah, lalu setiap orang yang lewat diminta melemparinya dengan batu-batu sedang (hijarah mu`tadilah) sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Hukum rajam pernah berlaku pada zaman Nabi Musa. Dalam Perjanjian Lama, Ulangan 22: 22 disebutkan, “Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel”.
Bahkan seorang gadis perawan pun ketika berzina harus dihukum mati. Disebutkan dalam ayat 23 dalam pasal dan surah yang sama Perjanjian Lama, “Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan–jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa isteri sesamanya manusia. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari tengah-tengah mereka”. Mungkin berdasar kepada dalil-dalil itu, ketika di Madinah Rasulullah SAW pernah merajam laki-laki dan perempuan Yahudi yang berzina.
Bantahan :
Hukum razam bagi para pelaku zina memang pernah diterapkan dizaman para Nabi-nabi terdahulu sebelum kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Walaupun demikian, bukan berarti hukuman razam yang diberlakukan bagi para pelaku zina muhshan pada masa Nabi dan hari ini mengambil atau merujuk pada kitab-kitab terdahulu, namun tetap merujuk kepada ketentuan hukum yang berlaku pada Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber yang sempurna dan membenarkan kitab-kitab sebelumnya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ
“Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.” (Ali Imran: 3)
Sebagai bukti bahwa Rasulullah menerapkan syariat berdasarkan petunjuk Kitabullah (wahyu) ialah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا مُجَالِدٌ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِيِِِِ
Telah bercerita kepada kami Suraij bin An-Nu’man berkata; telah bercerita kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Mujalid dari Asy-Sya’bi dari Jabir bin Abdullah ‘Umar bin khatab menemui Nabi Shallallahu’alaihiwasallam dengan membawa tulisan yang dia dapatkan dari Ahli Kitab. Nabi Shallallahu’alaihiwasallam terus membacanya dan marah seraya bersabda: “Bukankah isinya hanya orang-orang yang bodoh Wahai Ibnu Khottob?. Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, saya datang kepada kalian dengan membawa cahaya yang terang. Janganlah kalian bertanya kepada mereka tentang sesuatu! Bagaimana jika mereka mengabari kalian kebenaran lalu kalian mendustakannya atau mereka (menyampaikan) kebatilan lalu kalian membenarkannya?. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa alaihissalam hidup maka tidak ada jalan lain selain dia mengikutiku.” (H.R. Ahmad No. 15156 (23/349)
Dr. Moqsith Ghazali :
Dalam Al-Qur’an, ayat rajam tak tercantum. Namun, sejumlah kitab fikih menjelaskan bahwa pada mulanya ayat rajam itu temaktub dalam al-Qur’an. Dalam perkembanganya, ayat itu dihapuskan walau hukumnya tetap berlaku (naskh al-rasm wa baqa’ al-hukm). Ayat tersebut berbunyi al-syaiku wa al-syaikhatu idza zanaya farjumuhuma al-battatah nakalan min Allah (laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah secara sekaligus, sebagai balasan dari Allah). Ayat inilah yang menjadi pegangan para ulama pendukung hukum rajam. Sebuah hadits menyebutkan, “inna al-rajm haq fi kitabillah `ala man zana idza ahshana min al-rijal wa al-nisa’, idza qamat al-bayyinah, aw kana al-haml, aw al-i`tiraf”. Bahwa sesungguhnya rajam itu ada di dalam Kitabullah, yang wajib diperlakukan buat laki-laki dan perempuan yang berzina muhshan, ketika sudah cukup bukti, atau sudah hamil atau mengaku berzina.
Bantahan :
Memahami Islam hendaknya juga menjadikan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai rujukan dan pedoman hidup. Sebagaimana yang pasti bang Moqsith juga yakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merupakan Rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membawa Syariat Islam yang hanif dan menjadi pedoman bagi umat manusia agar tidak tersesat. Didalam hadits kita akan banyak menemukan bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerapkan hukum rajam bagi para pelaku zina, dan perbuatan Nabi ini tentu merupakan syariat yang patut untuk ditaati dan diamalkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisa’: 59)
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (Q.S. Ali-Imran: 132)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (Q.S. Muhammad: 33)
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.” (Q.S. Ali-Imran:32)
Didalam ayat-ayat tersebut sangat jelas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita untuk mentaati Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalam hal ini Rasulullah mensyariatkan hukum razam bagi para pelaku zina muhshan, maka umat Islam haruslah taat terhadap ketentuan yang telah Rasulullah contohkan ini berdasarkan perintah ayat-ayat diatas.
Dr. Moqsith Ghazali :
Dikisahkan bahwa hukum rajam pernah diterapkan pada zaman Nabi. Yaitu, ketika Ma`iz ibn Malik al-Aslami dan Ghamidiyah yang mengaku (i`tiraf) kepada Nabi bahwa dirinya telah berzina dengan seorang perempuan. Dengan itu, mereka meminta untuk dirajam. Nabi berkali-kali menolak dan tak segera memenuhi permintaan yang bersangkutan. Namun, mereka tetap ngotot bahwa dirinya telah melakukan zina muhshan. Akhirnya Nabi “terpaksa” menyanksinya dengan dirajam. Mungkin Nabi berharap agar yang bersangkutan tak mengaku berzina secara terus terang. Toh, dalam kesendiriannya ia bisa bertaubat kepada Allah SWT atas dosa-dosanya.
Bantahan :
Kisah tersebut bukan berarti menjadi justifikasi bahwa hukum rajam tidaklah menjadi prioritas utama yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam putuskan dalam kasus diatas. Akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengulang-ulang pertanyaan pada kasus Ma’iz ibn Malik al-Aslami dan Ghamidiyah adalah untuk memastikan kesadaran orang yang mengaku berzina tersebut. Berikut selengkapnya mengenai kisah Ma’iz ibn Malik al-Aslami dan Ghamidiyah
Disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu –yang menceritakan kisah Ma’iz- “Lalu ia berkata, ‘wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina.’ Namun, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpaling darinya sampai Ma’iz mengulang-ulang hal itu hingga empat kali. Setelah ia memberikan kesaksian atas dirinya sebanyak empat kali, maka nabi memanggil dirinya seraya bertanya,
‘apa engkau menderita kegilaan?’ ia menjawab, ‘tidak.’ Beliau bertanya lagi,
‘apakah engkau sudah pernah menikah?’ ia menjawab ‘ya.’ Maka Nabi bersabda,
‘Bawalah ia pergi lalu rajamlah.’” (Shahih diriwayatkan oleh al-Bukhari (6814) dan Muslim (1318)
Dalam hadits Buraidah Ra. yang menceritakan tentang Ma’iz dan wanita al-Ghamidiyah disebutkan, “…lalu datanglah seorang wanita dari Bani Ghamid di wilayah al-Azad lalu berkata, ‘wahai Rasulullah, sucikanlah aku.’ Beliau bertanya,
‘celakalah engkau! Kembalilah dan memohon ampunan kepada Allah serta bertaubatlah kepada-Nya.’
Wanita itu berkata, ‘Tampaknya engkau menolakku sebagaimana engkau menolak Ma’iz ibn Malik.’ Beliau bertanya, ‘apa itu?’ ia menjawab, ‘ini kehamilan akibat perzinahan.’ Beliau bertanya lagi, ‘begitukah engkau?’ ia menjawab ‘ya’ lalu beliau merajamnya.
Dengan kisah dua hadits diatas maka sebagian ulama berpendapat bahwa syarat diberlakukan hukum rajam dari pengakuan orang yang melakukan ialah empat kali pengakuan. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh mazhab Imam Ahmad dan Ishaq. Ini juga pendapat Imam Abu Hanifah, hanya saja ia mensyaratkan pengakuan-pengakuan itu masih dalam satu majelis.
Memahami dalil tidaklah satu-persatu akan tetapi perlu dilihat secara keseluruhan. Sebagaiman diketahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melakukan hukum rajam kepada salah seorang yang terbukti melakukan zina, namun Rasulullah tidak sampai bersikap sebagaimana sikapnya Rasulullah dalam kasus Ma’iz ibn Malik al-Aslami dan Ghamidiyah diatas. Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Pergilah , wahai Unais, ke tempat isteri laki-laki ini; bila ia mengakui (perbuatan zinanya), maka rajamlah dia.” (Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (6828) dan Muslim (1698). Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaitkan hukuman rajam itu hanya dengan adanya pengakuan (tidak mengulang-ulang pertanyaan sebagaimana kasus Ma’iz ibn Malik al-Aslami dan Ghamidiyah).
Dr. Moqsith Ghazali :
Kini banyak orang bertanya tentang perlu dan tidaknya menerapkan hukum rajam.
Bantahan :
Jangankan masalah hukum rajam.!. hukum waris, jihad, talak, nikah, cambuk, potong tangan, keekslusivan Islam, dan syariat-syariat lain didalam Islam saja tak lepas dari cibiran kaum liberal yang memang hobi mengutak-atik syariat agama yang telah qoth’I guna mendapatkan sesuap nasi dari kaki tangan musuh Islam. Sungguh perilaku keji kaum liberal ini mirip dengan prilaku bodoh kaum ahli kitab sebagaimana yang telah Allah gambarkan didalam Al-Qur’an:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلا النَّارَ وَلا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, Yaitu Al kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang Amat pedih.” (Q.S. Al-Baqarah: 174)
Dalam prilaku kaum liberal yang menentang Syariat Allah ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tabiat mereka didalam firman-Nya,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. An-Nisaa’:115)
Dr. Moqsith Ghazali :
Saya kira ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Pertama, rajam dalam Islam termasuk syar`u man qablana (syariat pra-Islam). Al-Qur’an banyak mengintroduksi hukum-hukum yang berlaku pada era sebelum Islam, seperti hukum Yahudi. Di samping soal rajam, al-Qur’an misalnya mengutip syariat Nabi Musa yang memperbolehkan bunuh diri. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an (al-Baqarah: 54), “Ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kalian telah menganiaya diri kalian sendiri karena kalian telah menjadikan anak lembu sebagai sesembahan kalian, maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menciptakan kalian dan bunuhlah diri kalian sendiri. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian pada sisi Tuhan yang menciptakan kalian. Maka Allah akan menerima taubat kalian. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Menerima taubat dan Maha Penyayang”.
Bantahan :
Asumsi diatas tidaklah tepat, dikarenakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan hukum Razam bagi para pelaku zina pada masanya berdasarkan perintah kitabullah, sebagaimana dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
‘Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh aku akan memutuskan perkara diantara kalian dengan Kitabullah” (H.R. al-Bukhari (6828), Muslim (1698)
Syariat Islam yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetapkan bagi umatnya memang ada beberapa syariat yang juga pernah ditetapkan oleh Nabi-nabi terdahulu kepada umatnya. Lantas, jika memang sama bukan berarti syariat itu menjadi tidak berlaku hanya karena statement “Syar’u man qablana”. Karena jika kaidah ini dipakai tentu rusaklah agama ini. Sebagai contoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
انّ هذه الصّلاة عرضت على من كان قبلكم فضيعوها فمن حافظ عليها كان له أجره مرّتين ولا صلاة بعدها حتّى يطلع الشاهد
“Shalat ini pernah diberikan kepada umat sebelum kalian, namun, mereka menyia-nyiakannya. Barangsiapa menjaga shalat ini, maka ia akan mendapatkan pahala dua kali lipat. Dan tiadalah Shalat setelahnya hingga terbit Syahid”(Muslim 830)
Didalam hadits tersebut sangat jelas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyatakan bahwa Shalat Ashar pernah disyariatkan kepada umat-umat terdahulu sebelum umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lantas apakah bang Moqsith ingin menyatakan bahwa syariat shalat Ashar tidak dapat dipraktekan/dilaksanakan dengan alasan “Syar’u man Qablana”!?
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Q.S Al-Baqarah:183)
Didalam ayat tersebut dengan jelas Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa Syariat shaum (berpuasa) merupakan syariat yang pernah diwajibkan kepada umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Apakah bang Moqsith juga ingin mengatakan bahwa syariat Shaum tidak dapat dipraktekan/dilaksanakan dengan alasan hal tersebut merupakan syar’u man qablana!? Laa haula walaa Quwwata Illa Billah…
Apakah bang Moqsith tidak pernah shalat Ashar dan Shaum? Atau beliau melaksanakan shalat ashar dan Shaum? Lalu, jika beliau melaksanakan Shalat Ashar dan Shaum mengapa beliau menolak hukum rajam?!
Dr. Moqsith Ghazali :
Para ulama fikih sendiri berbeda pendapat tentang posisi syar’u man qablana sebagai dalil hukum (hujjah syar’iyah). Sebagian ulama berpendapat bahwa syar`u man qablana menjadi bagian ajaran Islam jika itu sudah disebut dalam al-Qur’an. Sebagian yang lain berkata, bahwa syar’u man qablana bukanlah syari’at kita (umat Islam) karena itu kita tak boleh menjadikannya sebagai dalil hukum. Dengan argumen itu tak sedikit para ulama yang menolak pemberlakuan syar’u man qablana. Dengan itu, menurutnya, hukum rajam tak perlu diterapkan sebagaimana kita tak menerapkan hukum bunuh diri sebagai jalan taubat, sekalipun itu sudah tercantum dalam al-Qur’an.
Bantahan :
Sekedar penegasan kembali, bahwa syariat hukum rajam bagi para pelaku zina muhssan yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa Sallam pada masa itu dan kaum muslimin pada masa kini bukan menerapkan Syar’u man Qablana. Akan tetapi menerapkan hukuman tersebut berdasarkan Syariat kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallalllhu ‘alihi wa Sallam sebagaimana yang telah dikemukakan diatas.
Dr. Moqsith Ghazali :
Kedua, rajam tak efektif menjerakan para pelaku perzinaan, karena yang bersangkutan sudah meninggal dunia. Ia tak sempat lagi memperbaiki diri. Padahal, jelas dikemukakan para ahli fikih bahwa sanksi-sanksi hukum dalam Islam berfungsi untuk menjerakan para pelaku pidana (al-hudud zawajir la jawabir). Ketiga, rajam akibat perzinaan muhshan dalam konteks sekarang potensial merugikan perempuan. Kaum perempuan tak mudah untuk menghindar dari tuduhan zina sekiranya telah terjadi kehamilan sementara yang bersangkutan diketahui publik tak punya suami. Sementara pezina laki-laki bisa menghindar dari dakwaan zina, terlebih menghadirkan empat orang saksi yang melihat secara persis perzinaan itu, seperti dikehendaki al-Qur’an, bukanlah perkara mudah.
Bantahan :
Salah satu fungsi diberlakukan syariat Islam memang untuk membuat jera para pelakunya. Akan tetapi fungsi ini bukanlah satu-satunya fungsi dari diterapkannya syariat Islam. Selain fungsi tersebut, diberlakukannya syariat Islam juga agar membuat rasa takut bagi para manusia yang lain agar tidak menjatuhkan diri kedalam kemaksiatan yang sama. Oleh karena itu ditegakkannya syariat rajam ini ialah ditempat ramai agar manusia yang lainnya dapat melihat sehingga menimbulkan rasa takut didalam hati-hati mereka dari melakukan perbuatan maksiat tersebut. Hal ini tiada lain guna menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang baik dan bermartabat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Q.S. an-Nur: 2)
Dr. Moqsith Ghazali :
Keempat, kelompok Mu’tazilah dan Khawarij berpendapat ayat apalagi hadits yang menegaskan tentang hukum rajam bagi pezina muhshan sudah dihapuskan oleh ayat al-Qur’an (al-Nur: 2), yaitu “al-zaniyatu wa al-zani fajlidu kulla wahidin minhuma mi’ata jaldatin wa la ta’khudkum bihima ra’fatun fi din Allah in kuntum tu’minuna bi Allah wa al-yawm al-akhir wa al-yasyhad `adzabahuma tha’ifatun min al-mu’minin” (pezina perempuan dan laki-laki, pukullah sebanyak 100 kali pukulan. Janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman). Memang al-Qur’an sendiri, seperti dalam Mushaf Utsmani, tak membedakan antara pezina muhshan dan ghair muhshan. Pertimbangan ini sekalipun hadir dengan argumen yang belum kukuh bisa dipertimbangkan sebagai salah satu argumen untuk menolak penerapan hukum rajam.
Bantahan :
Kelompok Mu’tazilah dan Khawarij merupakan kelompok sesat dalam Islam, jadi, untuk apa merujuk pendapat mereka?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلا الضَّلالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
“Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Q.S. Yunus: 32)
Dr. Moqsith Ghazali :
Kelima, al-Qur’an tak memberikan hukum tunggal bagi orang yang berzina. Jika kita sepakat bahwa zina adalah perbuatan keji (fahisyah), maka sanksi hukum bagi pezina, baik yang muhshan maupun yang bukan, maka al-Qur’an memberi sanksi tahanan rumah seumur hidup. Disebutkan dalam al-Qur’an (surat al-Nisa’: 15), “Dan terhadap perempuan yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu yang menyaksikannya. Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah perempuan-perempuan itu sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepada mereka”.
Bantahan :
Asumsi ini hanyalah milik bang moqsith dan kelompoknya. Didalam al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber pedoman bagi kaum mjuslimin sangat jelas konsekuensi bagi para pelaku zina muhshan maupun ghairu muhshan. Bagi pelaku zina ghairu muhshan dikenakan hukuman cambuk sebanyak 100 kali cambukan kemudian diasingkan selama satu tahun. Adapun bagi para pelaku zina muhshan maka hukumannya ialah dirajam hingga mati. Sebagaimana yang bang Moqsith juga ketahui didalam Al-Qur’an dan Hadits. Tapi anehnya sudah tahu ko masih mempertanyakan?, inilah ciri orang nyeleneh.!
Dr. Moqsith Ghazali :
Bahkan di ayat berikutnya (ayat 16) tak dijelaskan jenis hukuman bagi para pezina, “Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kalian, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang”. Qatadah dan al-Sudi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan adzuhuma dalam ayat itu adalah dengan cara mempermalukan, menjelek-jelekkan, dan mencacinya (al-taubikh wa al-ta`yir wa al-sabb). Kalu kita bersepakat dengan ulama yang menolak konsep nasikh-mansukh dalam al-Qur’an, maka ayat ini tak bisa dianulir oleh ayat dan hadits yang memerintahkan rajam dan hukuman dera sebanyak 100 kali deraan. Mujahid misalnya berpendapat bahwa ayat 15 surat al-Nisa’ adalah sanksi hukum bagi pezina perempuan, sementara ayat 16 surat yang sama adalah sanksi hukum bagi para pezina laki-laki. (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Jilid III, hlm. 80)
Bantahan :
وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (An-Nisaa’:16)
Ibnu Abbas berkata,
كان الحكم كذلك، حتى أنزل الله سورة النور فنسخها بالجلد، أو الرجم.
وكذا رُوي عن عِكْرِمة، وسَعيد بن جُبَيْر، والحسن، وعَطاء الخُراساني، وأبي صالح، وقتادة، وزيد بن أسلم، والضحاك: أنها منسوخة. وهو أمر متفق عليه.
“Yakni dengan mencaci maki, mempermalukan, dan memukul dengan sandal. Hukum demikian terus berlanjut hingga Allah menasakhnya (Menghapusnya) dengan hukum cambuk dan rajam.” (Tafsir Ibnu Katsir (2/233)
Dr. Moqsith Ghazali :
Akhirnya, bisalah dikatakan bahwa ayat yang terkait dengan sanksi hukum seperti rajam merupakan fikih jinayat al-Qur’an yang pada tingkat implementasinya tak otomatis bisa dijalankan.
Bantahan :
Ungkapan Dr. Moqsith ini jelas sangat bertentangan dengan realita sejarah yang pernah terjadi di jaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu ‘Anhum. Dimana mereka memberlakukan/ menjalankan hukum rajam bagi para pelaku zina muhshan. Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar bagi kita, seseorang yang sudah berpredikat doktor ternyata bahlul dalam hal sejarah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu ‘Anhum.
Dr. Moqsith Ghazali :
Artinya, umat Islam bisa mencari sanksi-sanksi hukum yang paling mungkin dan efektif untuk menjerakan para pelaku kriminal. Bisa dengan cara dipenjara atau yang lainnya. Ibn Zaid pernah mengusulkan agar orang yang berzina dilarang menikah sampai yang bersangkutan meninggal dunia. (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Jilid III, hlm. 79). Sebagian ulama, seperti Muhammad Syahrur, berpandangan bahwa hukum potong tangan dan rajam merupakan hukum maksimal (al-hadd al-a`la) yang hanya bisa dijalankan ketika sanksi-sanksi hukum di bawahnya tak lagi efektif untuk mengurangi tingkat kriminalitas.
Bantahan :
Ungkapan Dr. Moqsith ini bertentangan dengan firman Allah,
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (Q.S. al-Maidah: 50)
Dr. Moqsith Ghazali :
Dengan memperlakukan ayat-ayat jinayat sebagai fikih al-Qur’an, maka kita tak lagi terikat untuk memaksakan penerapan sanksi-sanksi hukum itu seperti yang secara harafiah disebut dalam al-Qur’an. Kita bisa mencari jenis-jenis hukum lain yang lebih relevan dan sesuai dengan konteks keIndonesiaan kita. Yang penting tujuan dari sanksi-sanksi hukum Islam untuk menjerakan para pelaku tindak pidana sudah tercapai. Wallahu A`lam Bishshawab.
Bantahan :
Ungkapan Dr. Moqsith ini secara halus ingin mengatakan bahwa hukum rajam sebagaimana yang telah Rasulullah dan para Sahabat contohkan tidaklah relevan dengan konteks keIndonesiaan. Tentu pemikiran kufur ini secara jelas dan konfrontatif menentang hukum Allah diberlakukan di Indonesia. Kalau sudah begini, maka cukuplah firman Allah sebagai nasihat untuk bang Moqsith.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (Q.S. al-Maidah: 50)
فَذَرْهُمْ يَخُوضُوا وَيَلْعَبُوا حَتَّى يُلاقُوا يَوْمَهُمُ الَّذِي يُوعَدُونَ
“Maka Biarlah mereka tenggelam (dalam kesesatan) dan bermain-main sampai mereka menemui hari yang dijanjikan kepada mereka.” (Q.S. Az-Zukhruf: 83)
Terakhir saya bawakan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar kita senantiasa waspada terhadap orang-orang jahil yang tidak kredibel didalam masalah agama, namun terkesan sok paling pintar didalam menyuarakan masalah agama.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ الْجُمَحِيُّ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
Abu Bakr bin Abi Syaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata; Yazid bin Harun menuturkan kepada kami. Dia berkata; Abdul Malik bin Qudamah al-Jumahi menuturkan kepada kami dari Ishaq bin Abil Farrat dari al-Maqburi dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, dia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (H.R. Ibnu Majah)
Kesimpulan
Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari pembahasan ini berkenan dengan kekeliruan Dr. Moqsith Ghazali didalam tulisannya yang berjudul Tafsir atas “Rajam” dalam Islam yaitu:
- Tidak Paham Terhadap Syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
- Memahami Syariat Dengan Tidak Menjadikan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Sebagai Teladan.
- Tidak Secara Utuh didalam Melihat Konteks Hadits yang Berkenan Dengan Syariat Rajam.
- Menjadikan Hikmah Sebagai Illat Suatu hukum
- Terjebak Dalam Pendapat Firqah Sesat.
- Jahil Terhadap Sejarah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Para Sahabatnya.
- Menolak Diberlakukannya Hukum Allah Berdasarkan Asumsi yang Batil
Wallahu A’lam Bish Shawab…
[Mahasiswa Semester VII STID Mohammad Natsir]
Tidak ada komentar