Rekomendasi

ads header

Baru

Memahami Hikmah Perang Dalam Sejarah Islam


Kata Islam berasal dari akar kata Salima yang berarti selamat, damai, sentosa. Sedangkan Islam adalah berarti tunduk, patuh, berserah diri, menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah SWT, Sang Pemilik, Sang Pencipta Alam Semesta dan segala isinya, agar tercapai keselamatan dan kedamaian di muka bumi. Oleh karenanya perintah utama yang disampaikan oleh seluruh Nabi dan Rasul kepada umat manusia sejak zaman nabi Adam as hingga Rasulullah Muhammad SAW sebagai nabi akhir zaman, tidak pernah berubah yaitu memurnikan ketundukkan, penyembahan dan penghambaan hanya kepada-Nya, tidak ada yang selain-Nya. Ini adalah ajaran Tauhid.

Jadi sesungguhnya semua agama yang diturunkan melalui perantaraan para Nabi dan Rasul pada dasarnya adalah satu, yaitu Islam. Yang berbeda hanyalah syariat, cara penyembahan, yang sesuai dengan zaman dimana Sang Rasul diturunkan ditengah masyarakatnya.

Yang disebut Islam yang dikenal sekarang ini adalah agama Islam yang diturunkan melalui Rasulullah Muhammad SAW 14 abad silam dengan kitabnya Al-Qur’an. Didalam kitab ini diterangkan bahwa Muhammad SAW adalah nabi penutup yang diutus untuk seluruh umat yang ada di dunia ini. Allah SWT tidak akan mengutus lagi seorangpun Nabi maupun Rasul setelah itu. Artinya syariat yang dikehendaki dan diridhoi setelah adanya ajaran Muhammad SAW hingga akhir zaman nanti hanyalah ajaran yang dibawanya tersebut. Sedangkan ajaran dan syariat yang dibawa para Nabi dan Rasul terdahulu hanya berlaku untuk masa yang telah lalu dan umat tertentu pula.

Para Nabi dan Rasul ini mengajarkan bahwa dibalik kehidupan di dunia ini terdapat kehidupan akhirat. Semua kitab yang dibawa para utusan tersebut menerangkan hal ini dengan sangat jelas.

”dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung”.  (QS.Al-Baqarah[2]:4-5).

Ironisnya, kehidupan akhirat ini jauh lebih kekal daripada kehidupan dunia. Dan kehidupan akhirat terbagi dua, yaitu surga dan neraka. Surga adalah kehidupan yang menyenangkan dan penuh kenikmatan sebaliknya neraka adalah kehidupan yang penuh kesengsaraan, penuh siksaan dan penderitaan. Celakanya lagi, kehidupan dunia inilah yang menentukan kehidupan akhirat nanti, tentu saja atas izin-Nya.

Maha Suci Allah, Ia tidak menginginkan hambanya masuk neraka. Sesungguhnya neraka dan siksaan yang ditunjukkannya hanyalah ancaman dan peringatan agar hamba-Nya berhati-hati dalam menjalani kehidupan dunianya, agar ia tidak tersesat dengan hanya mengikuti hawa nafsu serta menuruti godaan syaitan terkutuk. Untuk itulah Ia mengutus para Nabi dan Rasul lengkap dengan Kitab Petunjuknya. Dan untuk itu pula Allah SWT memerintahkan para utusan-Nya untuk memerangi hamba-hamba-Nya yang tersesat, bila mereka tidak mau dan tidak bisa didakwahi secara baik-baik. Itu semua demi keselamatan hamba yang dicintai-Nya dari siksa neraka yang sangat mengerikan!

Rasulullah SAW berdakwah di Makkah secara sembunyi-sembunyi 3 tahun lamanya. Setelah itu turun ayat agar beliau berdakwah secara terang-terangan. Namun ajakannya menuju kebaikan, menuju penyembahan Tauhid yang benar, tidak disambut dengan baik. Sebaliknya Rasulullah dan para sahabat malah diejek, dilecehkan dan dianiaya. Sejumlah sahabat seperti Sumayyah dan suaminya disiksa kemudian dibunuh. Siksaan demi siksaan terus ditingkatkan. Kaum musyrikin yang keras kepala tersebut bahkan melakukan pemboikotan.

Selama 2 atau 3 tahun para sahabat hidup dalam kesulitan baik dalam hal makanan dan minuman maupun berinteraksi dengan dunia luar. Padahal mereka tidak berbuat kejahatan, mereka hanya ingin memurnikan penghambaan dan penyembahan kepada yang berhak. Bahkan Rasulullahpun tidak luput dari ancaman pembunuhan sehingga akhirnya kaum Muslimin terpaksa menuju Madinah meninggalkan kota kelahiran mereka, Makkah, kota dimana mereka mencari nafkah kehidupan.

Namun di kota baru tersebut, kaum Muslimin tetap tidak dapat hidup dengan tenang. Kali ini kaum Yahudi yang banyak menempati wilayah-wilayah tertentu di Madinah, ikut memusuhi kaum Muslimin. Mereka merasa benci dan dengki karena Sang Mesiah, utusan yang dijanjikan dalam kitab mereka, ternyata bukan datang dari kalangan mereka, melainkan dari bangsa Arab yang selama ini mereka lecehkan. Perjanjian Madinah yang isinya antara lain saling menghormati ajaran masing-masingpun mereka langgar. Orang-orang Yahudi ini malah memprovokasi penduduk Makkah dan sekitarnya agar mereka bersatu menyerang dan mengenyahkan ajaran Islam yang baru tumbuh tersebut. Akhirnya muncullah peperangan demi peperangan: Perang Badar, Perang Uhud, Perang Parit, Perang Khaibar dan sebagainya.

Perang yang mendapat izin dari-Nya mulanya memang hanya untuk mempertahankan diri. Kemudian setelah Islam berdiri tegak, perang diperintahkan dengan tujuan menghilangkan penyembahan terhadap berhala dan kembali ke ajaran Tauhid. Tetapi dengan syarat pihak yang akan diperangi harus didakwahi terlebih dahulu secara damai. Bila mereka menolak dan ingin tetap pada pendiriannya semula, mereka tidak boleh menghalangi apalagi mengganggu ajaran Islam. Jika ia berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam, orang-orang seperti itu tetap berhak mendapat hak perlindungan. Namun sebagai gantinya mereka harus membayar jiziah. (zakat bagi penduduk Muslimin). Tetapi bila mereka menolak apalagi mengganggu dan menghalangi ajaran Islam maka mereka wajib diperangi. Namun demikian perempuan, anak-anak, orang tua bahkan tanamanpun dilarang untuk dihancurkan kecuali karena sebab-sebab khusus.

” Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah”. (QS.Al-Anfal[8]:39).

Tetapi harus diingat, perang dalam Islam bukan untuk kepentingan politik, kelompok, ras maupun golongan tertentu. Perang adalah pilihan terakhir demi tercapainya masyarakat yang adil, damai, tunduk dan patuh terhadap aturan Sang Pemilik Yang Tunggal. Jadi tujuan perang bukan untuk mencari korban dan asal membunuh saja. Hal ini jelas tercermin dari jumlah korban selama peperangan yang terjadi pada masa hidup Rasulullah.
Selama 23 tahun masa kepemimpinan langsung Rasulullah SAW tercatat terjadi 20 perang besar. Hasil penelitian Dr. Muhammad Imarah, seorang cendekiawan Muslim Mesir terkenal atas seluruh perang ini menunjukkan bahwa ternyata jumlah seluruh korban yang jatuh sepanjang periode itu tercatat sebanyak 386 orang, terdiri dari pihak Muslim sendiri termasuk pihak musuh!
Bandingkan dengan perang saudara antara Katholik vs Protestan yang terjadi selama 30 tahun antara 1618-1648. Perang ini menelan korban jiwa 10 juta orang! Menurut Voltaire, seorang filsuf Perancis yang hidup antara tahun 1694-1778 jumlah tersebut sama dengan jumlah 40% penduduk Eropa Tengah pada abad pertengahan. Bandingkan juga dengan jumlah korban yang tewas paska lahirnya UU Indian Removal Act tahun 1830 yang menyebabkan 70.000 orang Indian tewas dan terusir dari tanah airnya sendiri. Atau bandingkan dengan jumlah korban bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada tahun 1945 yang jumlahnya mencapai ratusan ribu.

“Demi Allah, wahai paman! sekiranya mereka letakkan matahari di sebelah kananku dan bulan disebelah kiriku dengan maksud agar aku tinggalkan pekerjaan ini (menyeru mereka kepada agama Allah) sehingga ia tersiar (dimuka bumi) atau aku akan binasa karenanya, namun aku tidak akan menghentikan pekerjaan ini”.

Itu yang diucapkan Rasulullah SAW ketika Abu Thalib, sang paman yang selama itu senantiasa melindunginya, menganjurkan agar beliau mau menghentikan syi’ar karena ia merasa tak mampu terus menerus melindungi keponakan tercintanya karena ia sendiri terus ditekan para pemuka Quraisy. Ajakan ini pulalah yang terus dikumandangkan para utusan Allah sejak dahulu kala, agar manusia terhindar dari siksa api neraka.

” Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam”.(QS.Asy-Syuara’[26]:107-109).

Sayangnya, kebanyakan orang tidak mau lagi memikirkan Hari Akhirat. Kecintaan terhadap dunia yang berlebihan serta takut akan mati membuat pandangan dan pikiran menjadi picik dan sempit. Kebebasan berpendapat dan segala macam ideologi yang hanya sebatas pada kepentingan yang sifatnya duniawiyah dan hanya menguntungkan kelompok tertentu terus bermuncullan. Padahal hukum yang seperti ini akhirnya hanya akan memunculkan Hukum Rimba, siapa kuat dialah yang menang. Sungguh orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang merugi dan sangat patut di belas-kasihani.


Wallahu’alam bi shawab.

[Jakarta, 4 April 2008 | Oleh Vien AM | vienmuhadi.com |

Tidak ada komentar